Karya Media Para Santri
Muktamar kedua Jam’iyah Nahdlatul Ulama tahun 1927 di Surabaya mengamanatkan untuk menerbitkan majalah berkala. Sekitar du...

http://www.keretawaktu.com/2020/01/karya-media-para-santri.html

Meskipun
majalah mempergunakan bahasa Jawa Krama Inggil, tapi sudah menyebut
kata Indonesia. Karena NU merupakan perkumpulan kiai dan santri, maka
majalah yang diterbitkan itu ditulis dalam aksara Arab Melayu atau
Arab Pegon. Itulah aksara yang paling diakrabi warga NU. Mereka belum
terbiasa dengan huruf latin.
Majalah
Swara Nahddlatoel Oelama
itu dipimpin langsung sang pendiri NU yaitu KH. A Wahab Chasbullah,
dibantu Kiai Mas Abdul Kodir, KH. Ahmad Dahlan bin Ahyad, KH. Mas
Alwi bin Abdul Azis dan KH. Ridwan bin Abdullah sang menciptakan
lambang NU. Di sebelah kanan tertulis; saget
nerami karangan sinten kemawon
(bisa menerima karangan siapa saja).
Karena
kantor pusat NU dahulu di Surabaya maka majalah NU juga diterbitkan
dari Surabaya, tepatnya di Jalan Kawatan, Gang Onderling Belang Nomor
9 Surabaya. Tak jauh dari Stasiun Pasar Turi. Majalah dicetak di
Percetakan Hasan Ulwan di Jalan Kawatan 25 Surabaya.
Majalah
ini dijual umum. Tarif langganan satu tahun seharga 2,50 Gulden.
Setengah tahun 1,40 Gulden dan tiga bulan 0,75 Gulden. Harga
satuannya 0,45 Gulden. Langganan luar daerah dikenakan biaya ongkos
kirim dan majalah akan dikirim setelah wesel diterima. Tarif iklan
sudah mulai dilakukan. Satu halaman (setunggal
rahi) seharga 12 Gulden.
Setengah halaman 6,5 Gulden dan seperempat halaman 3,5 Gulden.
Tahun
1931 terjadi perubahan manajemen media NU. KH. Mahfudz Siddiq (putera
ulama besar Jember KH. Muhammad Siddiq) yang masih berusia 24
tahun ditunjuk memimpin media NU dan berubah nama menjadi Berita
Nahdlatoel Oelama (BNO).
Sejak itu majalah menggunakan bahasa Indonesia walaupun masih
menyisakan rubrik tertentu dalam bahasa Arab dan juga aksara Pegon.
Dalam perkembangannya, Majalah Berita
Nahdlatul Oelama pada tahun
ke-6 atau 1936 H, sudah mencantumkan iklan sebuah toko yang menjual
jas dan piyama.
Pada
bagian bawah majalah tertulis: “Oleh
karena madjalah banjak memoeat kalimat moe’adzomah dan
ajat-ajat Al-Qoran dan chadist-chadist Nabi maka wadjiblah atas
toean-toean memoeljakan ini madjalah.”
Tahun
1937 M dalam muktamar ke-12 di Malang, Mahfudz terpilih sebagai ketua
utama PBNU mendampingi KH. M Hasyim Asy’ari sebagai Rois Am. Ia
sempat ditahan Jepang bersama Kiai Hasyim pada tahun 1945 (Bisa
dilihat dalam film Sang Kiai). Mahfudz menjadikan majalah BNO sebagai
media umum yang bisa dibaca siapa saja. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)
pernah bercerita gairah warga NU menunggu terbitnya BNO itu.
Majalah
BNO menjadi perbincangan ketika perlawanan Palestina dikumandangkan
tahun 1936, setahun setelah wafatnya ulama Palestina tokoh tarekat
Naqsyabandiyah, Syaikh Izzuddin Al-Qasam. Sejak itu NU mulai
mendukung Palestina dari jauh.
BNO
menulis tentang pembelaan itu dengan mengajak semua ormas Islam
mengumpulkan dana dan qunut Nazilah. Dalam teks qunut yang diedarkan
itu jelas menyebut kata-kata Palestina. “Allahumma
undzur wanshur ikhwanana muslimi Falasthin. Waksyif kurubahum wa
tsabbit aqdamahum wa ahlik a’daahum”
Ya Allah perhatikan dan tolonglah saudara-saudara kami muslimin
Palestina. Selesaikan persoalan mereka, kuatkan langkah mereka serta
hancurkan musuh-musuh mereka.
Menurut
BNO, Sayang seruan kepada sejumah ormas Islam itu tak mendapat
tanggapan balasan sampai batas waktunya, Syawwal 1357 atau Desember
1938, kecuali dari Sarekat Islam. Akhirnya, NU menganjurkan
kepada semua cabang dan jaringan NU seluruh Indonesia untuk
mengumpulkan bantuan. Sebelumnya, KH. A Wahab Hasbullah di Menes,
Banten, pada 15 Juni 1938, mengemukakan kekecewaan itu, tak adanya
respon dukungan terhadap Palestina. Dalam sebulan baru terkumpul F30
(30 Gulden). Bandingkan, harga kamera merek Kodak waktu itu seharga
F36,15.
Setahun
kemudian, usulan itu disampaikan kepada Kongres Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang kemudian memutuskan seruan kepada semua ormas
anggotanya melakukan pengumpulan dana untuk Palestina. Berita NU
nomor 24 tanggal 2 Ramadan 1358 atau 15 Oktober 1939 memberitakan
keputusan MIAI itu digaungkan di lingkungan NU. Diberitakan hambatan
aparat Kolonial Belanda. Dari 68 cabang NU terkumpul dana 1.256,49
Gulden.
Berikutnya,
Kiai Wahab membeli percetakan sendiri dan kemudian berdirilah
Penerbit Nahdlatoel Oelama yang antara lain juga menerbitkan
kitab-kitab, kalender, dan buku-buku.
Sejak
1 Januari 1936, majalah BNO terbit tengah bulanan atau istilah
Belandanya half maandblad.
Pada edisi itu pula tertulis keterangan bahwa majalah tersebut
diupayakan oleh para ulama NU. Para ulama berharap, majalah tersebut
dapat berperan sebagai obor kaum Muslimin pada umumnya dan
Nahdliyin khususnya.
Di
luar KH. Mahfudz Siddiq yang ditunjuk sebagai Hoofd
Redacteur (pemimpin
redaksi), anggota redaksi lainnya tercantum K. Abdullah Oebaid
Surabaya, KH. Eljas dan KH. A Wahid Hasjim. Majalah BNO bisa bersaing
dengan majalah lainnya dan menjadi favorit di lapak-lapak.
Artikel-artikelnya bernas dan ditulis kalangan kiai.
Di
kalangan pembaca NU, BNO menjadi tempat bertanya atas persoalan agama
yang muncul di saat itu, begitu juga dengan derasnya mulai masuknya
berbagai aliran keagamaan.
Tak
ketinggalan pula, pada setiap terbitan majalah ini, selalu
memuat nama-nama kiai, ulama, atau aktivis NU yang meninggal untuk
disalatkan gaib dan doa. Majalah BNO beredar merata di Jawa dan
sejumah basis NU di luar Jawa lainnya.
Keragaman
iklan yang dimuat juga menggambarkan keragaman pembaca. Dari iklan
toko kain hingga tiket kapal laut, dari tukang jahit hingga toko buku
yang menjual buku-buku Kristen, dari toko emas imitasi hingga iklan
hotel, hingga iklan toko dasi bergambar lambang Muhammadiyah, dan
lain sebagainya.
Dari
sisi tampilan, majalah BNO ini juga lebih rapi, baik sampul dan tata
letak halamannya yang menggunakan tiga kolom di tiap halaman
dibanding majalah sebelumnya yang masih tampil seadanya.
Namun,
pada 1 Januari 1944 Kiai Mahfudz Suddiq wafat. BNO kehilangan
komandan karena Mahfudz termasuk sosok yang menguasai seluk
beluk media dan memiliki keterampilan menulis serta kemampuan bahasa
Belanda, Jepang, dan Inggris.
BNO
Berubah
Lambat
laun, sepeninggal Mahfudz Shiddiq, menurut NU
Online, mengutip kolektor
majalah Kemala Atmojo,
edisi No. 6/Tahun XII/Juni - Juli 1952 terjadi perubahan besar
manajemen. BNO terbit dua bulan sekali dan alamat redaksi pindah ke
Jalan Maluku II/1 Semarang, Jawa Tengah dan alamat administrasi
di Jalan Pekodjan 157, Kudus. Penerbitan majalah dikelola oleh PBNU
bagian Dakwah.
Susunan
redaksi pada edisi yang sampul berwarna merah memasang foto Kiai
Wahab Chasbullah sedang berpidato itu, kali ini menampilkan banyak
wajah baru. Saifuddin Zuhri ditunjuk sebagai Pemimpin Redaksi.
Anggota redaksi: KH. A. Wahid Hasjim, KH. M. Dahlan, KH. M. Iljas,
A.A. Achsien, Idham Chalid, A. Fattah Jasin, Ahmad Shiddiq, Umar
Burhan, A. Chamid Widjaja, K.R. Amin Tjokrowidagdo, dan Nurjaman.
Administrasi tertulis M. Zainury Noor (pemilik percetakan dan
penerbit PT Menara Kudus).
Muktamar
NU ke-19 di Palembang 26-30 April 1952 menjadi sejarah penting bagi
NU karena sejak itu diputuskan NUkeluar dari Masyumi dan menjadi
partai politik sendiri. Muktamar juga memilih KH. A. Wahid Hasyim
sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan KH. Nahrawi Thohir.
Menjelang
pemilu 1955, PBNU mendirikan sebuah surat kabar bernama Duta
Masyarakat. Segera
setelahnya, surat kabar ini menjadi besar dan menjadi salah satu
media cetak yang diperhitungkan di tanah air. Tak heran jika kemudian
lahir banyak jurnalis handal, seperti HM Mahbub Djunaidy (Ketua
Umum PWI Pusat Dua kali), HM Said Budairy, dan Chalid Mawardi (Ketua
PWI Jaya 1965), HM. Zain Badjeber, dan lain sebagainya.
Dalam
sejarah perjalanan NU, sebenarnya banyak media yang diterbitkan. Ada
Soeloeh NO,
Harian Obor Revolusi
(NU Jawa Timur), Chazanah,
Berita NO, Warta NO, LINO
(Lailatul Ijtima’ NO), Sophia
Weekly (Ya Muallim
Semarang), Risalah Islamiyah
(diterbitkan Misi Islam pimpinan Idham Chalid, Zen Badjeber,
Chatibul Umam, dan Danial Tanjung) dan berkantor di Jl. Kramat Raya
(kantor GP Ansor sekarang), Oetoesan
NO, Berkala
Sarbumusi, dan sebagainya.
Menjelang
Pemilu Orde Baru 1971, Duta
Masyarakat
terbit dengan gencar menyuarakan NU sebagai pemenang kedua
setelah Golkar. Dan setelah sejumlah partai Islam fusi, maka Duta
Masyarakat
juga ikut ‘fusi’ di harian Pelita
dan berkantor di jalan Diponegoro (Kantor PPP) sekarang.
Adalah
H. Said Budaery, Slamet Effendy Yusuf dan Ichwan Syam kemudian
diam-diam menerbitkan Risalah
Nahdlatul Ulama secara
sederhana. Banyak tulisan majalah Risalah
yang diambil dari harian Pelita
yang dianggap layak. Namun usia majalah ini tak panjang karena tidak
didukung PBNU dan dikerjakan sebagai sambilan.
Barulah
pada tahun 2007, majalah Risalah
diterbikan resmi oleh PBNU dalam bentuk buku. Kemudian pada tahun
2016 majalah Risalah
terbit dalam bentuk majalah seperti yang sekarang kita kenal.
Yang
istimewa, para pengelola (redaksi) majalah NU ini semua menjadi
orang penting baik di lingkungan NU atau bangsa. Mahfudz Shiddiq
kemudian terpilih sebagai Ketua umum PBNU. Idham Chalid kemudian
menjabat Wakil Perdana Menteri setelah tahun 1955 dan Ketua
DPR/MPR pertama hasil Pemilu Orde Baru 1971. KH. Ahmad siddiq
kemudian terpilih sebagai Rais Am Syuriah PBNU 1984 dan 1989. KH. A.
Wahid Hasjim, KH. Muhammad Dahlan, KH. Saifuddin Zuhri dan KH. M.
Ilyas pernah menjabat menteri agama RI. KH. Fattah Yasin pernah
menjabat menteri penghubung alim ulama. Achsjin pernah menjabat Duta
Besar RI di Iran. Imron Rosadi dan Chalid Mawardi pernah menjadi
ketua Komisi I DPRRI. Chamid Wijaya pernah menjadi anggota DPRRI.
Chalid pernah menjabat Duta Besar RI di Suriah dan Libanon.
(MH)