Analisa: Mengapa Tunisia Bergolak Kembali
Masih terbesit dalam ingatan kita pada tahun 2011 lalu, ketika negara-negara Timur Tengah dilanda gelombang revolusi yang terjadi di be...

http://www.keretawaktu.com/2018/02/analisa-mengapa-tunisia-bergolak-kembali.html

Namun
di awal tahun 2018, aksi protes kembali terjadi di Tunisia. Aksi
protes terjadi di sepuluh wilayah yang berbeda di Tunisia, dimana
menurut Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, Khelifa
Chibbani, aksi protes bermula dari sekelompok pemuda yang melakukan
aksi protes pada malam hari tanggal 9 Januari 2018. Aksi
protes itu
dilakukan dengan kekerasan.
Melempar
batu, memblokir jalan, menjarah toko-toko serta merusak mobil polisi
dan menyerang aparat-aparat pemerintah.
Maraknya
aksi protes ini terjadi karena kenaikan harga kebutuhan pokok dan
pajak yang diterapkan pemerintah untuk menutup defisit anggaran
pemerintah serta memenuhi permintaan lembaga internasional yang
memberikan pinjaman kepada Tunisia. Meski
begitu,
akar masalah dari meningkatnya aksi protes ini adalah tidak adanya
perbaikan ekonomi. Maraknya pengangguran dan kebijakan austerity yang
diterapkan oleh pemerintah Tunisia menyebabkan kondisi ekonomi di
Tunisia memburuk. Harga Pangan yang meningkat 8 persen setiap
tahunnya sejak tahun 2011 dan inflasi membuat warga Tunisia depresi
dan berbondong-bondong turun ke jalan untuk memprotes pemerintah.
Tuntutan
perbaikan ekonomi pun disuarakan oleh mayoritas rakyat Tunisia yang
melakukan protes di jalan. Salah
satunya adalah
kelompok Fesh Nestannew (Apa Lagi yang kita Tunggu) yang merupakan
kelompok utama dalam aksi protes. Mereka
menuntut dikembalikannya spirit dari revolusi 2011, terutama dalam
bidang ekonomi. Mereka
menuntut dibukanya lapangan pekerjaan, kebebasan dan harga diri
nasional.
PROTES
YANG MENGEJUTKAN
Maraknya
aksi protes yang terjadi di Tunisia ini sebenarnya cukup mengejutkan
publik internasional. Pasalnya
Tunisia selama ini dianggap sebagai contoh sukses transisi dari
negara otoriter ke arah demokrasi pasca-revolusi. Berbeda dengan
negara-negara lainnya seperti Mesir, yang kembali dilanda revolusi
dua tahun pasca-revolusi untuk menurunkan presiden Mesir, Mohammed
Mursy atau Yaman yang justru terjebak dalam konflik internal dengan
pemberontak Houthi. Di Tunisia, transisi politik berjalan secara
demokratis dan lancar.
Pada
pemilu pertama, kelompok Islamis Ennahda dan koalisinya berhasil
memenangkan pemilihan umum yang berlangsung demokratis. Ketika
Ennahda memenangi pemilu, banyak kekhawatiran bahwa Ennahda berniat
untuk menciptakan kebijakan-kebijakan konservatif terkait Syariat
Islam di negara tersebut. Namun pada akhirnya, hal tersebut tidak
terbukti. Kelompok Ennahda ternyata merangkul kubu sekuler dan
nasionalis untuk menciptakan Tunisia yang aman dan stabil pasca
revolusi.
Pada
pemilihan kedua tahun 2014, kelompok Ennahda dikalahkan kelompok
Nidaa Tounes yang sekuler. Kekalahan
kelompok petahana tersebut diterima dengan lapang dada dan peralihan
kekuasaan berlangsung dengan damai. situasi ini kemudian membuat
Tunisia menjadi negara yang stabil dan aman. Hal
inilah yang kemudian membuat empat kelompok demokrasi di Tunisia:
Persatuan Serikat Buruh Nasional, Konfederasi Industri dan
Perdagangan Tunisia, Liga HAM Tunisia dan Kelompok Pengacara Tunisia
atau lebih dikenal dengan National League Dialogue (NLD) meraih
hadiah nobel perdamaian tahun 2015 karena keberhasilan mereka menjaga
transisi damai di negara tersebut.
Selain
keberhasilan meraih hadiah nobel, Tunisia juga masuk dalam 10 besar
negara yang layak dijadikan tempat untuk memulai bisnis Start-up oleh
majalah Forbes pada tahun 2015. Pasca-revolusi, Tunisia juga berubah
menjadi negara yang terbuka dan berbagai isu yang sebelumnya tabu
dibicarakan di publik seperti aborsi, kebebasan berekspresi dalam
seni dan hak-hak perempuan mulai bisa diwacanakan ke publik, dimana
salah satunya adalah rally yang dilakukan ribuan wanita tahun 2012
menuntut emansipasi perempuan diberlakukan di Tunisia.
Karena
itu aksi protes yang terjadi di Tunisia baru-baru ini dianggap cukup
mengejutkan oleh publik di luar Tunisia. Kendati jika menilik situasi
ekonomi di Tunisia pasca-revolusi, hal tersebut tidaklah
mengherankan. Terjadinya
revolusi di Tunisia pada tahun 2011 dilandasi oleh tingginya angka
pengangguran di negara tersebut dan muaknya rakyat Tunisia atas
korupsi yang mengakar di tubuh pemerintah.
Namun
hari ini, setelah Sembilan Rezim
pemerintahan silih berganti, kondisi ekonomi masih tetap sama. Pada
tahun 2016 sendiri, tingkat pengangguran Tunisia tercatat mencapai
15,6 Persen, meningkat dari tahun 2016 sebanyak 15,2 persen. Harga
pangan yang meningkat tiap tahun dan inflasi membuat situasi ekonomi
di Tunisia kian sulit. Pada
tahun 2015 pemerintah Tunisia mendapatkan bantuan pinjaman sebesar
2,8 Milyar Dollar AS dari sejumlah lembaga donor internasional untuk
memperbaiki ekonomi mereka. Namun,
pinjaman tersebut pada akhirnya harus dibayar dengan sejumlah
kebijakan yang harus diterapkan oleh pemerintah Tunisia, yang
diwajibkan oleh kelompok pendonor untuk mendapatkan pinjaman yaitu
pemotongan gaji pegawai negeri dan program austerity yang lebih luas
dengan menaikkan pajak.
Hal
tersebut menjadi semakin memburuk, setelah pada bulan Desember 2017
lalu, IMF meminta pemerintah Tunisia untuk mengambil langkah darurat
dan tindakan yang tepat dalam mengurangi defisit, yang berarti
penerapan program austerity lebih jauh yang diterapkan dalam 2018
Financial Law. Situasi ini pada akhirnya memicu protes besar-besaran
dari rakyat, yang semakin tersiksa dengan kebijakan austerity
tersebut.
LANGKAH
PEMERINTAH TUNISIA
Saat
ini, pemerintah Tunisia dihadapkan pada situasi yang sulit. mereka
harus memastikan kebijakan mereka ambil tidak membuat kehidupan warga
Tunisia semakin sulit karena program austerity, seperti yang terjadi
di Yunani dan Portugal pada tahun 2011. Namun
di sisi lain, mereka tidak bisa berbuat banyak karena Tunisia masih
mengandalkan pinjaman lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF
untuk dapat bertahan.
Kita
tahu bahwa
resep ekonomi IMF biasanya tidak pernah bisa berjalan dengan baik dan
justru membuat kondisi ekonomi di negara itu
kian memburuk. Apa
yang terjadi di Amerika Latin tahun 1980-an, Turki, Yunani dan
Indonesia di tahun 1998 menunjukkan bahwa resep ekonomi dari IMF
tidak akan pernah berhasil. Karena
itu ada baiknya, pemerintah Tunisia mulai mendengarkan saran dari
rakyat mereka terkait kebijakan ekonomi dengan meninggalkan IMF dan
mencari pendonor di luar IMF serta menggenjot kembali perekonomian
mereka untuk memperbaiki situasi di negara tersebut. (Kharizma
Ahmada)