Analisa: Mengapa Tunisia Bergolak Kembali

Masih terbesit dalam ingatan kita pada tahun 2011 lalu, ketika negara-negara Timur Tengah dilanda gelombang revolusi yang terjadi di be...


Masih terbesit dalam ingatan kita pada tahun 2011 lalu, ketika negara-negara Timur Tengah dilanda gelombang revolusi yang terjadi di berbagai negara, dimulai dari Tunisia, lalu merembet ke Mesir, Bahrain, Yaman dan Suriah. Revolusi tersebut kemudian dinamakan dengan revolusi “Arab Spring” dengan tujuan menggulingkan rezim-rezim diktator yang berkuasa di negara-negara Timteng. 
Beberapa revolusi berhasil menggulingkan beberapa rezim diktator, seperti Zine El Abidin Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir dan Ali Abdullah Saleh di Yaman. Satu revolusi gagal, yaitu di Bahrain. Pangeran Hamad bin Isa Al-Khalifa berhasil memukul mundur para demonstran dengan bantuan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Adapun satu revolusi masih terus berlangsung hingga hari ini, yaitu di Suriah. Revolusi Suriah kemudian berkembang menjadi konflik bersenjata antara pasukan rezim pemerintah Bashar Al-Assad dengan pasukan oposisi, yang hingga hari ini juga, masih belum ada tanda, kapan konflik berakhir.
Namun di awal tahun 2018, aksi protes kembali terjadi di Tunisia. Aksi protes terjadi di sepuluh wilayah yang berbeda di Tunisia, dimana menurut Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, Khelifa Chibbani, aksi protes bermula dari sekelompok pemuda yang melakukan aksi protes pada malam hari tanggal 9 Januari 2018. Aksi protes itu dilakukan dengan kekerasan. Melempar batu, memblokir jalan, menjarah toko-toko serta merusak mobil polisi dan menyerang aparat-aparat pemerintah.
Maraknya aksi protes ini terjadi karena kenaikan harga kebutuhan pokok dan pajak yang diterapkan pemerintah untuk menutup defisit anggaran pemerintah serta memenuhi permintaan lembaga internasional yang memberikan pinjaman kepada Tunisia. Meski begitu, akar masalah dari meningkatnya aksi protes ini adalah tidak adanya perbaikan ekonomi. Maraknya pengangguran dan kebijakan austerity yang diterapkan oleh pemerintah Tunisia menyebabkan kondisi ekonomi di Tunisia memburuk. Harga Pangan yang meningkat 8 persen setiap tahunnya sejak tahun 2011 dan inflasi membuat warga Tunisia depresi dan berbondong-bondong turun ke jalan untuk memprotes pemerintah.
Tuntutan perbaikan ekonomi pun disuarakan oleh mayoritas rakyat Tunisia yang melakukan protes di jalan. Salah satunya adalah kelompok Fesh Nestannew (Apa Lagi yang kita Tunggu) yang merupakan kelompok utama dalam aksi protes. Mereka menuntut dikembalikannya spirit dari revolusi 2011, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka menuntut dibukanya lapangan pekerjaan, kebebasan dan harga diri nasional.
PROTES YANG MENGEJUTKAN
Maraknya aksi protes yang terjadi di Tunisia ini sebenarnya cukup mengejutkan publik internasional. Pasalnya Tunisia selama ini dianggap sebagai contoh sukses transisi dari negara otoriter ke arah demokrasi pasca-revolusi. Berbeda dengan negara-negara lainnya seperti Mesir, yang kembali dilanda revolusi dua tahun pasca-revolusi untuk menurunkan presiden Mesir, Mohammed Mursy atau Yaman yang justru terjebak dalam konflik internal dengan pemberontak Houthi. Di Tunisia, transisi politik berjalan secara demokratis dan lancar.
Pada pemilu pertama, kelompok Islamis Ennahda dan koalisinya berhasil memenangkan pemilihan umum yang berlangsung demokratis. Ketika Ennahda memenangi pemilu, banyak kekhawatiran bahwa Ennahda berniat untuk menciptakan kebijakan-kebijakan konservatif terkait Syariat Islam di negara tersebut. Namun pada akhirnya, hal tersebut tidak terbukti. Kelompok Ennahda ternyata merangkul kubu sekuler dan nasionalis untuk menciptakan Tunisia yang aman dan stabil pasca revolusi.
Pada pemilihan kedua tahun 2014, kelompok Ennahda dikalahkan kelompok Nidaa Tounes yang sekuler. Kekalahan kelompok petahana tersebut diterima dengan lapang dada dan peralihan kekuasaan berlangsung dengan damai. situasi ini kemudian membuat Tunisia menjadi negara yang stabil dan aman. Hal inilah yang kemudian membuat empat kelompok demokrasi di Tunisia: Persatuan Serikat Buruh Nasional, Konfederasi Industri dan Perdagangan Tunisia, Liga HAM Tunisia dan Kelompok Pengacara Tunisia atau lebih dikenal dengan National League Dialogue (NLD) meraih hadiah nobel perdamaian tahun 2015 karena keberhasilan mereka menjaga transisi damai di negara tersebut.
Selain keberhasilan meraih hadiah nobel, Tunisia juga masuk dalam 10 besar negara yang layak dijadikan tempat untuk memulai bisnis Start-up oleh majalah Forbes pada tahun 2015. Pasca-revolusi, Tunisia juga berubah menjadi negara yang terbuka dan berbagai isu yang sebelumnya tabu dibicarakan di publik seperti aborsi, kebebasan berekspresi dalam seni dan hak-hak perempuan mulai bisa diwacanakan ke publik, dimana salah satunya adalah rally yang dilakukan ribuan wanita tahun 2012 menuntut emansipasi perempuan diberlakukan di Tunisia.
Karena itu aksi protes yang terjadi di Tunisia baru-baru ini dianggap cukup mengejutkan oleh publik di luar Tunisia. Kendati jika menilik situasi ekonomi di Tunisia pasca-revolusi, hal tersebut tidaklah mengherankan. Terjadinya revolusi di Tunisia pada tahun 2011 dilandasi oleh tingginya angka pengangguran di negara tersebut dan muaknya rakyat Tunisia atas korupsi yang mengakar di tubuh pemerintah.
Namun hari ini, setelah Sembilan Rezim pemerintahan silih berganti, kondisi ekonomi masih tetap sama. Pada tahun 2016 sendiri, tingkat pengangguran Tunisia tercatat mencapai 15,6 Persen, meningkat dari tahun 2016 sebanyak 15,2 persen. Harga pangan yang meningkat tiap tahun dan inflasi membuat situasi ekonomi di Tunisia kian sulit. Pada tahun 2015 pemerintah Tunisia mendapatkan bantuan pinjaman sebesar 2,8 Milyar Dollar AS dari sejumlah lembaga donor internasional untuk memperbaiki ekonomi mereka. Namun, pinjaman tersebut pada akhirnya harus dibayar dengan sejumlah kebijakan yang harus diterapkan oleh pemerintah Tunisia, yang diwajibkan oleh kelompok pendonor untuk mendapatkan pinjaman yaitu pemotongan gaji pegawai negeri dan program austerity yang lebih luas dengan menaikkan pajak.
Hal tersebut menjadi semakin memburuk, setelah pada bulan Desember 2017 lalu, IMF meminta pemerintah Tunisia untuk mengambil langkah darurat dan tindakan yang tepat dalam mengurangi defisit, yang berarti penerapan program austerity lebih jauh yang diterapkan dalam 2018 Financial Law. Situasi ini pada akhirnya memicu protes besar-besaran dari rakyat, yang semakin tersiksa dengan kebijakan austerity tersebut.
LANGKAH PEMERINTAH TUNISIA
Saat ini, pemerintah Tunisia dihadapkan pada situasi yang sulit. mereka harus memastikan kebijakan mereka ambil tidak membuat kehidupan warga Tunisia semakin sulit karena program austerity, seperti yang terjadi di Yunani dan Portugal pada tahun 2011. Namun di sisi lain, mereka tidak bisa berbuat banyak karena Tunisia masih mengandalkan pinjaman lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF untuk dapat bertahan.
Kita tahu bahwa resep ekonomi IMF biasanya tidak pernah bisa berjalan dengan baik dan justru membuat kondisi ekonomi di negara itu kian memburuk. Apa yang terjadi di Amerika Latin tahun 1980-an, Turki, Yunani dan Indonesia di tahun 1998 menunjukkan bahwa resep ekonomi dari IMF tidak akan pernah berhasil. Karena itu ada baiknya, pemerintah Tunisia mulai mendengarkan saran dari rakyat mereka terkait kebijakan ekonomi dengan meninggalkan IMF dan mencari pendonor di luar IMF serta menggenjot kembali perekonomian mereka untuk memperbaiki situasi di negara tersebut. (Kharizma Ahmada)

Baca Juga:

Internasional 7388543365817547596

Posting Komentar

emo-but-icon

Video Berita Haji

Populer

Terbaru

Iklan

item