Tausiah: Senyum Menggoda Wanita Yahudi
Kota Ashkelon tengah dalam keadaan cuaca terik yang tinggi. Rabbi Norah tertatih-tatih membuka pintu rumahnya. Derit pintu ka...

http://www.keretawaktu.com/2018/01/tausiah-senyum-menggoda-wanita-yahudi.html

Anjing-anjing
itu berlarian melihat Rabi keluar. Ia tersenyum menatap anjing-anjing
itu. Satu-satunya pohon zaitun di depan rumahnya menjadi penyejuk
siang ini. Daunnya yang masih hijau seperti menawarkan keteduhan.
Pohon zaitun itu sudah meninggi. Rabbi Norah sudah lama tak
memerhatikan seksama.
Melihat
pintu rumahnya dibuka, beberapa orang yang lewat yang mengenalnya
lantas singgah. Ia mencium tangan Rabbi. Wajah Rabbi bersinar dan
cerah seolah memantulkan kedamaian bagi pengikut setia Nabi Musa AS
dan Nabi Harun AS. Air sumurnya yang jernih seolah memberi kenikmatan
para tamunya dari cawan tanah lumpur Laut Mati.
---0---
Rabbi
Norah adalah orang yang sangat dekat dengan Allah. Ia telah mengabdi
selama 60 tahun dalam mezbah. Ia habiskan hidupnya hanya untuk berdoa
dan beribadah kepada Allah SWT. Ia habiskan waktu untuk membaca
Taurat dan doa-doa Haggadah. Selama 60 tahun itu ia tak pernah keluar
rumah. Banyak rabbi yang memuji Rabbi Norah sebagai rabi yang berkat
ibadahnya yang tekun tanah Ashkalon menjadi subur dan warganya
makmur.
Siang
ini banyak tamu yang datang ke rumah Rabbi Norah. Rata-rata mereka
memohon doa kepada sang rabbi. Sang rabbi dengan senyumnya yang khas
dengan sukacita berdoa untuk umatnya. Ia memberi menjamu tamunya
dengan anggur, buat tin dan roti gandum. Ia kemudian masuk lagi ke
mezbahnya dan kembali menekuni taurat dan doa-doa lainnya.
----0----
Menjelang
senja, seorang wanita mengucapkan salam. Rabbi menjawabnya. Ia
membuka kelambu tirai mezbahnya.
“Adakah
aku mengenalmu?” tanya Rabbi Norah.
“Belum,
Rabbi.”
“Siapa
sebenarnya engkau?” tanya Rabbi.
“Saya
Hamama, Rabbi. Saya datang memohon doamu.”
“Kalau
kau mau menunggu tunggulah. Aku akan selesaikan ibadahku dulu.”
Tak
lama kemudian Rabbi Norah keluar dan duduk di kursinya, menghadap
seorang wanita di hadapannya. Wanita itu sangat cantik dan berusia
sekitar 30 tahun.
“Dari
siapa engkau mengenal aku,” tanya Rabbi.
“Semua
orang sejak di Jerusalem menyebut namamu Rabbi. Kami datang dari
Nabshan dekat Laut Mati jalan kaki menempuh perjalanan berhari-hari
untuk bertemu denganmu, wahai Rabbi.”
“Semoga
Allah memberimu pahala setimpal.”
“Kami
perlu doa rabbi.”
“Kalau
hanya untuk berdoa kenapa tak berdoa di Jerussalem. Bukankah di sana
doa-doa pasti dikabulkan Allah.”
“yah,
kami mantap dengan doa Rabbi,” kata wanita itu. Angun menyingkap
kerudungnya sehinga memperlihatkan rambutnya yang ikal hitam indah.
----0----
Hanya
sesekali Rabbi Norah menatap agak dalam wanita itu. Ia lebih banyak
mengarahkan pandang pada halaman luar sambil melayani pertanyaan.
“Apa
harapanmu kepada Allah dengan doaku?”
“Kami
ingin segera dapat jodoh.”
“Jodoh.
Lalu?”
“Kami
ingin segera punya anak yang banyak. Kami betnazar jika kami punya
laki-laki akan kami persembahkan sebagai pasukan para nabi. Jika
perempuan biarlah ia nantinya membantu suaminya yang berjuangn untuk
agama Allah.”
“Niatmu
sungguh indah.”
“Marilah
berdoa dan hari sudah mulai gelap. Engkau tak mungkin pulang ke
desamu malam ini.”
“Betul,
Rabbi.”
“Nanti
tidurlah di rumah Rifaya, dia seorang janda yang baik. Dia hidup
sendiri. Rumahnya tepat di depan rumah ini.”
“Baik
Rabbi.”
Maka
berdoalah rabbi sangat lama. Hamama mengamini sambil menutupkan kedua
tangannya ke wajahnya. “Amin.”
Malam
itu ia menginap di rumah Rifaya, janda yang hidup sendirian. Di sana
ia dijamu. Rifaya yang usianya sebaya dengan Rabbi senantiasa
menghormati tamu-tamunya. Tamu diangapnya rezeki dari Allah yang
wajib dimuliakan.
----0----
Malam
itu Rabbi Norah sedikit terganggu dengan kedatangan wanita itu. Rabbi
belum pernah menikah. Sejak ia belajar para seorang rabbi di Shiloh
hingga selesai ia tak menikah. Ia kembali ke rumah orang tuanya di
Ashkelon dan ia begitu asyik tinggal di mezbah dan menghabiskan waktu
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Entah
kenapa malam itu ia sulit memicingkan mata. Ia teringat terus
senyuman wanita dari Nabshan itu. Baju wanita yang berwarna merah
mengesankannya. Kerudungnya yang berwana merah jambu seperti kerudung
terbaik dan terindah sepanjang ia tahu dalam hidupnya.
Ia
kemudian mematikan lampu biliknya dan mencoba tidur.
Bayangan
wanita itu terus mengganggu.
–--0----
Tak
jelas mimpim malam itu. Ia begitu kaget ketika menjelang fajar,
seseorang mengetuk pintu rumahnya. Rabbi bergegas membuka. Takut ada
tamu jauh yang memerlukan bantuannya. Ternyata, yang beridi di
depannya adalah Hamama yang menebarkan senyum terindahnya.
“Engkau?”
“Iya,
rabbi.”
Rabbi
ragu hendak memasukkan Hamamah ke dalam rumahnya.
“Bagaimana
dengan Rifaya? Engkau telah izin dia untuk datang kemari?”
“Sudah
Rabbi.”
“Apa
kau bilang?”
“Aku
hendak ke mezbah Rabbi.”
“Duduklah
dan aku membuka pitu rumah dan jendela. Aku nyalakan lampu dulu,”
katanya, melangkah ke dalam.
Hamama
memgikutinya, diam-diam. Mezbah masih gelap dan ada alas papirus dari
Mesir seukuran satu orang. Mezhab beralaskan tanah kering. Rabbi
mengambil air suci sebelum melangkah menunaikan ibadah Fajar. Hamama
mengikutinya di belakang kanan Rabbi.
----0----
Sambil
menghadap ke timur, arah Jerusalem, Rabbi berdoa yang diaminkan
Hamama. Rabbi juga memberi wejangan kepada Hamamah di mezbahnya.
“Jika
engkau kelak mendapat jodoh, pilihlah laki-laki yang baik. Jangan
dilihat ketampanan dan kekayaan, karena keduanya itu anti akan
menipumu. Menikahlah dengan orang yang bertanggungjawab dengan ciri
ia memiliki pekerjaan yang ditekuni terus menerus. Carilah laki-laki
keturunan baik-baik. Tapi, jika engkau menikah dengan sesama Yahudi
maka itu adalah pilihan terbaik, karena semua Yahudi adalah keturunan
Nabi Ishaq. Allah akan menuntunmu pada jalan terbaik.”
Hamama
tertunduk khusuk mendengar petuah Rabbi. Jarak antara dia dengan
Rabbi tak sampai satu meter. Rabbi mencium bau wangi Hamamah,
wewangian Mesir yang khas dari getah Luban yang mahal.
“Tentu,
wanita ini bukan wanita miskin. Dia wanita terpandang melihat baju
dan wewangian yang dikenakannya,” pikir Rabbi.
“Duduklah
di ruang tamu depan mungkin akan ada tamu yang ingin menemuiku,”
kata Rabbi.
“Tidak
Rabbi.”
“Kenapa?”
“Kami
di sini saja, kami ingin mendekat Allah. Biarlah rabbi di sana, kami
akan di sini.”
Rabbi Norah melihat Hamama merebahkan tubuhnya di atas mezbahnya. Ia pulas tertidur. Ketika lampu mezhab dipindahkan ke ruang tamu, napas Hamama terdengar lirih seolah minta perhatian.
Rabbi Norah melihat Hamama merebahkan tubuhnya di atas mezbahnya. Ia pulas tertidur. Ketika lampu mezhab dipindahkan ke ruang tamu, napas Hamama terdengar lirih seolah minta perhatian.
Rabbi
Norah menuju ruang tamu.
Jantungnya
berdegup keras.
Perasaannya
tak karuan.
Tangannya
gemetar.
---0---
Di
ruang tamu Rabbi Norah menghabiskan waktunya dengan merenung. Tapi,
pikirannya kemudian cepat beralih pada Hamamah. Ia menghibur diri
dalam hati. “Bukankah aku sudah 75 tahun dan tak akan menarik bagi
wanita terhormat seperti dia.”
Tapi,
setan seperti segera menyergah pernyataan hatinya. “Ah, Rabbi
engkau masih gagah dan wanita itu pasti suka denganmu. Ia menunggumu.
Untuk apa dia jauh-jauh pergi dan memilih tidur di mezbahmu. Ia ingin
engkau nikahi.”
Setan
selalu menggodanya.
Tiba-tiba
ia mendengar suara teriakan. “Tolong.”
Rabbi
Norah segera masuk ke dalam mezbahnya. Hamama tengah ketakutan berat
dan meronta. Rabbi memeluknya dengan menyadarkannya.
“Tenanglah
Hamamah. Tenanglah ada aku di sini.”
Hamama
sangat kuat meronta sehinga Rabbi harus memeluknya lebih kuat lagi.
Hingga kemudian Hamama tersadar dan ia tengah dalam pelukan erat
Rabbi Norah.
----0----
Rabbi
Norah tersadar dan langsung pingsan. Ia memangis dan lalu meningal
saat itu juga. Ketika para tetangga datang mereka menyaksikan sesuatu
yang sangat memilukan. Seorang rabbi besar meninggal dalam pelukan
seorang wanita yang tidak jelas.
Dalam
hadis Rasulullah SAW disebutkan, bahwa Nabi bersabda: “Maka
ditimbanglah ibadah selama 60 tahun itu dengan dosa perzinahan.
Ternyata dosa zina lebih unggul dari pahala-pahalanya.”
Naudzubillahi
min zalik.
----0----
Dikutip
bebas dari hadis riwayat Ibnu Hibban yang dikutip Syaikh Zainuddin
Al-Malibari dalam kitab Irsyadul Ibnad ila Sabilir Rasyad pada bab
Zina halaman 104-105. (Musthafa Helmy)