Jalan Sejarah Kota Tiga Agama
Yerusalem Yerusalem adalah salah satu kota tertua di dunia. Terletak di dataran tinggi pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut...

http://www.keretawaktu.com/2018/01/jalan-sejarah-kota-tiga-agama.html
![]() |
Yerusalem |
Dalam
sejarah panjang kota ini, kota tersebut sudah dua kali dihancurkan, 23
kali dikepung, 52 kali diserang oleh pihak luar dan 44 kali direbut oleh
berbagai pihak. Pada tahun 1538, Kaisar Ottoman, Suleiman I membangun
tembok yang membagi kota ke dalam empat bagian, yang kemudian dikenal
sebagai kota tua Jerusalem, dimana empat bagian itu dibagi dalam wilayah
Yahudi, Kristen, Islam dan Armenia. Wilayah kota tua ini kemudian
diakui oleh UNESCO sebagai warisan kebudayaan dunia apda tahun 1981.
Jerusalem
sendiri dianggap sebagai kota suci oleh tiga agama Samawi, yaitu
Yahudi, Kristen dan Islam. Kota ini dianggap Suci bagi agama Yahudi
karena keyakinan mereka bahwa kota ini ibukota dari kerajaan Israel usai
Raja Daud menaklukkan kota ini dari suku Kanaan dan kemudian
dilanjutkan dengan pembangunan kuil suci yang dilakukan oleh putranya,
Raja Sulaiman. Sedangkan menurut agama Kristen, kota ini dianggap suci
karena Yesus Kristus pernah disalib di kota ini. Adapun, umat Islam
menganggap kota ini suci karena kota ini menjadi persinggahan Nabi
Muhammad SAW kala melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj.
Bukti
klaim kota suci ketiga agama ini kemudian dapat dilihat dengan
banyaknya tempat-tempat suci agama Samawi di wilayah Kota Tua, yaitu
Tembok Ratapan, Haram al - Sharif, Masjid Al-Aqsa dan gereja suci
Sepulcre. Hal ini kemudian menjadi salah satu faktor yang membuat dua
negara, Israel dan Palestina memperebutkan kota ini. Dalam tulisan ini
akan dibahas sejarah kota Jerrusalem dari tiga era, yaitu masa kuno
sebelum kedatangan Inggris, masa pendudukan Inggris dan masa Modern
pasca – perang Arab - Israel.
SEJARAH KUNO
Menurut
catatan arkeolog, sejarah awal Jerrusalem adalah kota yang dihuni oleh
suku Kanaan dibawah kerajaan Mesir kuno sebelum ditaklukkan oleh Nabi
Daud pada tahun 1000 SM. Daud kemudian menjadikan kota ini sebagai
ibukota dan pusat agama dari kerajaan Israel, seperti yang tertera dalam
Alkitab. Namun, seiring bejalannya waktu, kota ini terus menerus
diserang dan penguasa kota ini terus berganti. Mulai dari Kerajaan
Assyria dan Babylonia, dimana dalam serangan tersebut, orang-orang
Yahudi diusir dari kota Jerusalem kuno. Akan tetapi, usai Babylonia
ditaklukkan oleh kekaisaran Persia dibawah komando Raja Cyrus, Jerusalem
dikembalikan kepada orang Yahudi sebelum raja Alexander dari Makedonia
merebut kota ini. Usai raja Alexander meninggal, kekaisarannya terbagi
menjadi empat wilayah dan Jerusalem masuk ke dalam wilayah Kekaisaran
Seleucid, yang mencakup wilayah kerajaan Israel dan suku Filistin.
Kondisi
tersebut bertahan hingga revolusi Maccabee Yahudi berhasil merebut
kembali kota tersebut dari kekaisaran Seleucid. Umat Yahudi pun kembali
berkuasa di kota tersebut dengan ditandai era dinasti Hasmonian tahun
141 SM. Akan tetapi, situasi ini tidaklah berlangsung lama. Kekaisaran
Romawi dibawah komando Jendral Pompei berhasil menaklukan kota ini pada
tahun 63 SM.
Dibawah
komando Kekaisaran Romawi ini pula, Nabi Isa As lahir di wilayah yang
saat ini disebut Betlehem dan menurut kepercayaan umat Kristen, Nabi Isa
disalib oleh pasukan Romawi di kota Jerusalem. Hal ini kemudian yang
membuat Yerusalem menjadi kota yang cukup penting bagi agama Kristen.
Ketika Kekaisaran Romawi meninggalkan kepercayaan pagannya dan beralih
menjadi Kekaisaran Kristen, gereja suci Sepulchre dibangun pada tahun
335 M tepat diatas wilayah tempat nabi Isa disalib dan bangkti dari
kematiannya. Kota ini sempat direbut oleh kekaisaran Persia pada tahun
614 M sebelum kembali direbut lima belas tahun kemudian oleh kekaisaran
Romawi Byzantium.
Pada
tahun 637 M, dibawah kekhalifahan Umar bin Khattab, kota Jerrusalem
berhasil direbut Kekhalifahan Islam dan ditandai dengan menyerahnya
penguasa Byzantium, Sophronius. Perpindahan kekuasaan berlangsung secara
damai dan di masa kekhalifahan inilah, Haram al –Sharif dibangun oleh
khalifah Umar bin Khattab tepat di atas tempat Nabi Muhammad SAW
melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj. Kota ini kemudian direbut oleh
tentara Salib pada tahun 1099 M, sebelum direbut kembali oleh Salahuddin
Al-Ayubbi pada tahun 1187. Akan tetapi, tentara Salib kembali merebut
kota ini pada tahun 1229. Pada tahun 1517, kekaisaran Ottoman Turki
berhasil menaklukkan kota ini dan menjadikan Jerrusalem sebagai wilayah
administratif Ottoman, sebelum direbut oleh Inggris Raya pada tahun
1917. Dalam pertempuran Jerrusalem yang dipimpin oleh Jendral Edmund
Allenby.
KEKUASAAN INGGRIS
Di
era kekuasaan Inggris inilah, imigrasi besar-besaran umat Yahudi ke
wilayah Palestina dimulai. Kedatangan etnis Yahudi dari Eropa ini
dibarengi dengan visi Zionisme, yaitu menciptakan sebuah tanah air yang
berisi orang Yahudi. Sepanjang tahun 1922 hingga 1948 sendiri, populasi
kota Jerrusalem bertambah drastis dari 52.000 jiwa pada tahun 1922
menjadi 165.000 jiwa pada tahun 1948, dimana 2/3 Populasi adalah yahudi
dan 1/3 Populasi merupakan ernis Arab. Eksodus Yahudi Eropa ke wilayah
Palestina ini dipicu oleh Deklarasi Balfour, yaitu sebuah pernyataan
resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris untuk mendukung
terbentuknya sebuah negara yang dihuni oleh etnis Yahudi di wilayah
Palestina dan ditandatangani oleh menteri luar negeri Inggris, Arthur
Balfour. Deklarasi tersebut berbentuk sebuah surat dari Balfour kepada
Arthur Rotschild, pemimpin komunitas Yahudi di Inggris atas persetujuan
Federasi Zionisme di Inggris Raya dan Irlandia.
Kedatangan
Yahudi-yahudi Eropa atau Ashkenazi dalam jumlah yang besar ini pada
akhirnya menimbulkan ketidaknyamanan bagi etnis Arab, baik Muslim maupun
Kristen yang sudah lama menetap di Jerrusalem. Dalam buku Ploughing
Sand: British Rule in Palestine 1917 – 1948 yang ditulis oleh Naomi
Shepperd dituliskan bagaimana proyek Zionisme di wilayah Palestina
berlangsung layaknya kedatangan orang-orang kulit putih di Amerika Utara
dan Rhodesia.
Banyak
terjadi penggusuran massal terhadap desa-desa orang Arab di wilayah
Palestina serta adanya kebijakan bahwa warga lokal hanya boleh menjual
tanahnya kepada orang Yahudi. Hal ini kemudian menimbulkan banyaknya
konflik sosial antara orang-orang Arab dan Yahudi sepanjang kekuasaan
Inggris Raya. Yang paling terkenal adalah Nebi Musa Riots tahun 1920
yang menewaskan empat warga Arab, lima warga Yahudi dan melukai sejumlah
orang.
Peristiwa
ini terjadi dalam Festival Nabi Musa yang rutin digelar di kota
tersebut setiap minggu paskah serta kerusuhan pada tahun 1929 yang
dilandasi kemarahan warga Arab atas kebijakan pemisahan pria dan wanita
di tembok barat Jerrusalem, yang dianggap oleh orang Arab sebagai
langkah untuk menghancurkan situs suci di tembok barat. Hal ini kemudian
memancing kemarahan orang Arab dengan mengakibatkan 67 orang Yahudi
tewas terbunuh, adapun Yahudi lokal, selamat karena disembunyikan oleh
warga Arab.
Pasca
kerusuhan tahun 1929 tersebut, banyak warga Arab yang ditangkap dan
dihabisi oleh tentara Inggris. Puncak dari pemberontakan warga Arab
adalah serangan yang dilakukan oleh pemberontak Arab pada tahun 1936
terhadap pemerintah Kolonial Inggris dan pemerintah Inggris butuh waktu
tiga tahun untuk menghentikan pemberontakan tersebut. Pemberontakan itu
mengakibatkan 3.073 warga Arab tewas di tangan tentara Inggris, namun
itu masih belum termasuk mereka yang tewas di tangan milisi Yahudi.
Maraknya
konflik antara Etnis Yahudi dan Arab pada akhirnya membuat pemerintah
Inggris Raya terpaksa membatasi imigrasi orang-orang Yahudi Eropa pada
tahun 1939. Hal tersebut pada akhirnya kembuat kelompok Yahudi ekstremis
seperti Irgun dan Lehi, yang kemudian menunjukkan kemarahannya dengan
melakukan terror kepada pemerintah kolonial Inggris dan yang paling
terkenal adalah pemboman Hotel King David yang menewaskan 91 orang dari
berbagai negara dan melukai 46 orang.
Pada
tahun 1947, Inggris memutuskan menyerahkan masalah Jerusalem kepada PBB
hingga kemudian tercapai Partition Plan yang membagi Jerusalem menjadi
dua wilayah, yaitu wilayah Barat untuk Yahudi dan Timur untuk orang
Arab, dibawah kekuasaan Jordania. Namun, partition plan PBB tersebut
tidak diterima oleh negara-negara Arab karena dianggap merugikan. Satu
hari usai deklarasi berdirinya negara Israel, terjadi serangan yang
dilakukan oleh negara-negara Arab ke wilayah Israel yang berbuah
kekalahan negara-negara Arab dan membuat banyak warga Yahudi dan Arab
mengungsi dengan diwarnai aksi kekerasan gangster di kedua belah pihak.
Israel sendiri memfokuskan diri untuk pembangunan ibu kota di wilayah
Jerrusalem dengan memindahkan banyak fungsi pemerintahan ke kota
tersebut. Namun, langkah tersebut tidak diikuti oleh lembaga-lembaga
internasional yang lebih memilih membuka kantor di Tel Aviv untuk
menghindari konflik.
PERANG ARAB–ISRAEL
Pada
tahun 1967 sebuah kejadian penting kembali mempengaruhi kota
Jerrusalem, yaitu Perang Arab–Israel atau biasa disebut perang Yom
Kippur, karena terjadi di hari suci orang Yahudi, Yom Kippur. Dalam
perang yang berlangsung selama enam hari tersebut, tentara Israel
berhasil mengalahkan koalisi negara-negara Arab. Namun bukan hanya itu
saja, mereka juga mengokupasi wilayah-wilayah dari negara Arab tersebut.
Wilayah
yang diokupasi tersebut adalah Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari
Mesir, Tepi Barat dan Jerrusalem Timur dari Yordania serta Dataran Golan
dari Suriah. Kondisi tersebut membuat Israel berkuasa secara penuh atas
kota Jerusalem. Bahkan pada tahun 1980, dikeluarkan sebuah
undang-undang yang menyebut bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel secara
utuh dan lengkap antara wilayah Timur dan Barat. Kendati Israel
kemudian menghentikan langkah untuk menganeksasi Jerusalem Timur untuk
menghindari kemarahan dunia internasional.
Pasca-kemenangan
Israel di perang Yom Kippur, konflik antara Israel dan Palestina terus
memanas dengan adanya perlawanan dari warga Palestina yang dikenal
dengan Intifada, yaitu serangkaian aksi demonstrasi serta tindakan
non-kekerasan seperti boikot produk Israel, menolak pekerjaan di Israel
dan menyerang polisi dengan senjata seperti batu dan bom Molotov, yang
kemudian dibalas oleh Israel dengan tindakan militer. Situasi tersebut
pada akhirnya berhenti dengan adanya Kesepakatan Oslo tahun 1993.
Kesepakatan
Oslo adalah sekumpulan kesepakatan bersama antara pemerintah Israel dan
PLO (Palestine Liberation Organization). Penandatanganan kesepakatan
Oslo sendiri berlangsung sebanyak dua kali, yaitu tahun 1993 di
Washington DC, Amerika Serikat dan tahun 1995 di Taba, Mesir.
Kesepakatan ini sendiri mengatur mengenai berdirinya otoritas Palestina
yang berkuasa atas wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta ditarik
tentara Israel dari wilayah tersebut.
Sementara
mengenai Jerusalem, status kota tersebut baru akan ditentukan setelah
pemerintah Palestina dan Israel saling mengakui berdirinya dua negara,
Israel dan Palestina yang berdiri secara berdampingan. Akan tetapi,
tentara Israel tetap bertanggung jawab atas keamanan di kota tersebut
hingga status final tercapai.
Pada
tahun 1995, Kongres dan Senat Amerika Serikat mengeluarkan
Undang-undang bernama “Jerusalem Embassy Act” yang mengatur pemindahan
Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerrusalem pada tahun
1999 dan mengakui Jerrusalem sebagai ibukota Israel. Undang-undang
tersebut disetujui oleh mayoritas senat dan anggota kongres, baik
republik dan Demokrat. Namun undang-undang ini tidak disahkan sebagai
hukum oleh presiden Bill Clinton karena dianggap mengganggu proses
perdamaian yang sedang berlangsung.
Hal
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan adanya klausul yang diajukan
oleh Senator Kansas kala itu, Bob Dole yang menyebut bahwa Presiden
diizinkan untuk menunda pemindahan tersebut selama enam bulan apabila
pemindahan tersebut dianggap mengganggu keamanan nasional Amerika
Serikat.
Kondisi
tersebut pada akhirnya berlangsung selama 22 tahun, dimana baik
Clinton, Bush hingga Obama semuanya selalu menggunakan opsi penundaan,
hingga akhirnya pada awal Desember 2017, presiden Donald Trump
memutuskan untuk memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel
Aviv ke Jerrusalem, yang mendapat kecaman dari warga dunia dan membuat
AS seperti dikucilkan dalam perundingan PBB, karena hampir 138 negara
menolak langkah AS tersebut. (Kharizma Ahmada)