Cinta Arab dan Yahudi di Israel

Televisi Al-Jazirah edisi 12 Januari 2016  menayangkan liputan tentang grup penyanyi asal Israel yang justru sukses dengan lagu Arabnya. Mer...

Televisi Al-Jazirah edisi 12 Januari 2016  menayangkan liputan tentang grup penyanyi asal Israel yang justru sukses dengan lagu Arabnya. Mereka menyebut grup itu dengan A-WA yang bermakna yes. Tiga bersaudara Yahudi itu adalah Tair, Liron, dan Tagel Haim. Mereka mendirikan grup band ini tahun 2015.


Lagu hiphop  "Habib Galbi" (kekasih hatiku) menjadi hit di Timur Tengah. Lagu hiphop asal Yaman ini menjadi menarik di tangan tiga dara berasal dari Shaharut, wilayah selatan Israel ini. Adalah penyanyi Israel Tomer Yosef yang menemukan bakat mereka dan memasukkan ke dapur rekaman.
A-Wa menjadi bagian penyanyi Yahudi yang melantunkan lagu Arab. Bahkan, menurut mereka, tahun 1970-an, dunia Arab juga pernah mengidolakan Abdul Halim Hafid sebagai penyanyi yang masih keturunan Yahudi. Lagu Halim yang berjudul Qariatul Finjan yang ditulis Pangeran Abdullah Al-Faisal dari Arab Saudi itu kini menjadi hit lagi dan digandrungi remaja Yahudi menyanyikannya.
A-Wa menjadi bagain dari sejumlah penyanyi Yahudi yang keranjingan nyanyi Arab yang tak hanya karena tingal di negara-negara Arab. Dilka, misalna yang tingal di Mesir. Esther Alfassi di Maroko. Bnat Chamama dan Margarita Tzamani dari Yaman. Faiza Rushdi dari Irak. Fritzsa Damin, Luouisa Saadun dan Habiba Mlaika dari Tunisia. Radio dan televisi Israel mengumandang lagu-lagu mereka bersamaan dengan Jonathan Settel yang menyanyikan lagu-lagu Yahudi dalam bahasa Ibrani.
Bahkan di YouTube mereka bisa kita saksikan menyanyikan lagu-lagu Arab dalam pesta mereka. Lagu Arab memang nyaman dan enak didengar. Mereka fasih menyanyikan itu sambil berjingkrak-jingkrak mengikuti nadanya.
Sejak seratus tahun kembalinya Yahudi ke Palestina telah banyak perubahan yang terjadi. Banyak kasus yang bisa kita saksikan melalui internet hubungan cinta antara Arab dan Yahudi. Dari yang semula tabu dan dikecam secara adat dan politis, kita sudah mulai cair. Pernikahan Yahudi-Arab sudah sering terjadi, meksipun ada sebagian kelompok garis keras Yahudi yang menetangnya. Pemerintah Israel sendiri merestui hubungan lebih jauh antara dua suku bangsa yang berbeda itu.
Kasus di Jaffa, menjadi aroma tak sedap bagi garis keras Israel. Ratusan orang menyerbu gedung pernikahan di kawasan Rischon le Zion. Kelompok ultra konservatif demo menentang pernikahan antara seorang warga muslim Israel dan calon isterinya yang beragama Yahudi dan beralih menjadi Islam. Namun, sebaliknya, muncul dukungan buat pasangan pengantin dari kelompok kiri. Mereka membuat demo tandingan dan mendukung.

Aksi itu dilakukan kelompok Yahudi konservatif Lehava yang bermakna mencegah asimilasi di tanah suci. Pasangan Yahudi-Muslim, Mahmud Mansur dan Maral Marlka tetap berlangsung dibawah tekanan massa. Dilaporkan, pasangan pengantin terpaksa menyewa 14 tenaga keamanan untuk melindungi para tamu.

Jalur Cinta
Presiden Israel Reuven Rivlin mengecam aksi demo itu. Dalam statusnya di laman Facebook, Rivlin menilai para demonstran telah melangkahi batasan antara kebebasan berpendapat dan seruan kebencian. Menurutnya, kedua pengantin itu memiliki hak untuk menikah dan mendapat perlindungan dari konstitusi. Keputusan keduanya harus dihormati, tulis Rivlin.
Presiden menegaskan, negara tidak memberikan tempat untuk tindak kekerasan, seruan kebencian atau rasisme yang "bertentangan dengan dasar-dasar" masyarakat Yahudi demokratis. Rivlin juga mengucapkan selamat kepada pasangan asal Jaffa itu. Tampak dalam undangam Menteri Kesehatan Israel, Yael German.
Kementerian Pendidikan Israel pernah melarang dimasukannya buku kisah percintaan Yahudi-Arab ke dalam kurikulum, yang langsung memicu kecaman dari berbagai kalangan. Tidak ada alasan spesifik yang dikemukakan Kementerian Pendidikan untuk melarang karya Dorit Rabinyan tersebut sebagai bahan pelajaran.
Tapi surat kabar Haaretz mengutip pejabat Kementerian Pendidikan, Dalia Penig, yang mengatakan salah satu alasannya adalah perlunya mencegah pembauran identitas antara Arab dan Yahudi. "Hubungan yang sangat dekat antara Yahudi dan Arab dianggap banyak pihak di masyarakat sebagai ancaman pemisahan identitas," kata Penig.
Komentar ini dikecam beberapa tokoh kebudayaan Israel, di antaranya adalah Alon Idan, yang mengatakan keputusan tersebut mencerminkan bahwa pemerintah "ingin menjaga kemurnian darah Yahudi sehingga perlu melarang hubungan percintaan," kata Idan seperti dikutip kantor berita AFP.
Buku Rabinyan diberi judul Kehidupan Perbatasan yang mengisahkan penerjemah Israel yang jatuh cinta dengan seniman Palestina di New York. Kisah asmara ini tak berakhir bahagia karena penerjemah tersebut kembali ke Tel Aviv sementara sang seniman pulang ke Ramallah di Tepi Barat. Novel ini, menurut BBC 1 januari 2016, menjadi salah satu pemenang penghargaan kesusasteraan karya-karya berbahasa Ibrani.
Terancamkan Yahudi? Benar. Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) memperkirakan pada 2020 jumlah penduduk warga Arab di Israel akan melebihi jumlah orang Yahudi. Surat kabar the National Post melaporkan, PCBS menyatakan 5,8 juta warga Palestina saat ini hidup tersebar di Israel, Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Ini berbeda dengan jumlah orang Yahudi di Israel hanya enam juta jiwa. PCBS menyebut 2,7 juta warga Palestina telah tinggal di Tepi Barat, 1,7 juta jiwa di Gaza, dan 1,4 juta jiwa di Israel.
PCBS mengatakan berdasarkan kecepatan angka kelahiran maka pada 2016 jumlah warga Arab dan Yahudi akan sama. Namun, pada 2020, jumlah populasi warga Arab akan mencapai 7,2 juta jiwa mengalahkan orang Yahudi hanya 6,9 juta jiwa.
"Proyeksi ini justru dapat menjadi krisis demografi serta membahayakan solusi damai kedua negara. Ini lantaran hanya mengarah kepada solusi satu negara," ujar pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Hanan Ashrawi, kepada situs Ynet.
Dia mengatakan solusi ini memang akan membuat tidak nyaman baik bagi warga Israel maupun Palestina. Dia menyebut jika hal itu terus terjadi maka Palestina akan menjadi penduduk mayoritas. "Namun kami akan memberikan kesempatan kepada Israel untuk merealisasikan kenyataan warga Palestina bisa mempunyai negara demokratis berdampingan dengan Israel".
Sementara hasil dikeluarkan Biro Pusat Statistik Israel menunjukkan populasi negara Yahudi itu saat ini telah melewati jumlah korban pada peristiwa Holocaust. "Ini merupakan kabar gembira mengetahui lebih dari enam juta warga Yahudi ada di Israel," kata Kepala museum peringatan Holocaust Yad Vashem, Dina Porat, kepada koran the Guardian.
Dia mengatakan penduduk Yahudi saat ini memang lebih banyak terpusat di satu tempat. Dia menjelaskan sebelum peristiwa Holocaust, sekitar 18 juta warga Yahudi ada di seluruh dunia. Tapi setelah peristiwa itu, jumlah orang Yahudi tidak lebih dari 13 juta. "Populasi Yahudi di Israel sudah mendekati setengah dari keseluruhan warga Yahudi di seluruh dunia yang membuat Israel menjadi pusat warga Yahudi," ujar Porat.
Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan resolusi 181 yang membagi tiga wilayah Palestina: 56.5% untuk pendirian negara Yahudi, 43% untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah internasional. Tapi kelak, pada tahun 1967 –setelah terjadinya Perang 6 Hari Arab-Israel, Israel menduduki Sinai, Golan, dan seluruh wilayah Palestina.
Bangsa Palestina (baik Arab Islam, Arab Kristen, maupun Arab Yahudi) menyebar di seluruh wilayah. Jadi, ketika tanah mereka dibagi tiga, ada yang berada di wilayah yang dijatah untuk Israel, ada yang hidup di wilayah yang dijatah untuk Palestina.
Lalu, orang Yahudinya ada berapa banyak? Orang Yahudi ‘asli’ yang sejak lama hidup berbaur dengan bangsa Arab, memang ada, tapi tidak banyak (dan mereka ini justru dianggap rendahan oleh Israel, sama seperti warga Arab baik yang muslim atau Kristen). Setelah Theodor Herzl, pada 1896 menyerukan pendirian sebuah negara Yahudi, Jewish Colonization Association (Asosiasi Kolonisasi Yahudi, didirikan 1891 di London) memulai pendanaan dalam mendirikan permukiman Zionis di Palestina.
Pada 1904-1914, gelombang pertama Yahudi datang sebanyak 40,000 orang sehingga populasi Yahudi di Palestina meningkat jadi 6% dari total penduduk. Selanjutnya, pengiriman orang-orang Yahudi dari berbagai negara di dunia berbondong-bondong datang ke Palestina. Pada Oktober 1921, sensus penduduk pertama yang dilakukan oleh Inggris menunjukkan populasi di Palestina 78% Muslim Arab, 11% Yahudi, 9,6% Kristen Arab. Akhirnya, pada tahun 1945 (3 tahun sebelum Israel ‘diproklamasikan’) populasi Zionis menjadi 31% dan kepemilikan tanah menjadi 6.0%.
Setelah Resolusi PBB 181 itu, orang-orang Yahudi melakukan aksi ‘pembersihan’ etnis Arab di kawasan Palestina yang menjadi ‘jatah’ Israel. Hingga tahun 1954, total 80% orang Palestina yang tinggal di kawasan ‘jatah’ Israel telah terusir dan hidup di pengungsian hingga kini. Kawasan jatah Israel pun, yang oleh PBB ditetapkan 56,5% kini telah meluas dan upaya ekspansi terus berlanjut hingga hari ini.
Warga Arab yang masih tersisa di dalam wilayah yang menjadi jatah Israel. Mereka kini tercatat sebagai warga Israel, meski sangat didiskriminasi. Untuk mencari nafkah, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan dilakukan warga Yahudi. Gilad Atzmon, penulis Yahudi yang aktif membela Palestina, menulis bahwa ia tak pernah melihat orang Arab-Palestina selain hanya sebagai pekerja kasar di malam hari, membersihkan sampah dan lainnya.
Sore ini masih menggema lagu yang dinyanyikan Najat Salim asal Irak. Warga Irak tak pernah tahu bahwa ia keturunan Yahudi yang dibanggakan di Israel. (MH)

Baca Juga:

Internasional 3635580750725943846

Posting Komentar

emo-but-icon

Video Berita Haji

Populer

Terbaru

Iklan

item