Kisah Unik Kiai Mahrus dan Kiai Ibrahim Hosen
KH Mahrus Ali Dua ulama ini memang fenomenal. Kiai Mahrus Ali adalah pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, pesantren besar dan berpengaruh...

http://www.keretawaktu.com/2017/03/kisah-unik-kiai-mahrus-dan-kiai-ibrahim.html
![]() |
KH Mahrus Ali |
Dua ulama ini memang fenomenal. Kiai Mahrus Ali adalah pengasuh
Pondok Pesantren Lirboyo, pesantren besar dan berpengaruh di Kediri, Jawa Timur.
Kiai Mahrus pernah menjabat sebagai Syuriah PWNU Jawa Timur dan juga Mustasyar PBNU.
Kiai Mahrus Pernah dicalonkan menjadi Rais Am pada Munas
Ulama di Kaliurang, Yogakarta tahun 1981 untuk menggantukan KH Bisri Syansuri,
namun Kiai Mahrus menolak. Kiai asal Cirebon itu justru mengajukan nama KH Ali
Ma’shum dari Krapyak Yogyakarta, dan terpilih jadi.
KH. Mahrus Aly lahir di dusun Gedongan, kecamatan
Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH Aly bin Abdul
Aziz dan Hasinah binti Kyai Sa’id, tahun 1906 M. Kiai Mahrus wafat hari Ahad
malam, tanggal 06 Ramadlan 1405 H atau 26 Mei 1985 M. KH. Mahrus Aly berpulang
ke rahmatullah dalam usia 78 tahun.
Prof KH Ibrahim Hosen adalah ulama ahli fikh perbandingan
dan usul fikih lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir yang asal Bengkulu. Saat du
Bengkulu pernah menjabat sebagai Konsul NU, sebanding pimpinan wilayah. Kiai
Ibrahim sangat berjasa dalam memperkenalkan pemikiran antar mazhab yang semula
diangga tabu di sini. Kiai Ibrahim adakah Rektor Perhuruan Tinggi Ilmu Al-Quran
(PTIQ) pertama dan Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) pertama juga, disamoing
juga pendirinya.
Kiai Ibrahim Hosen dilahirkan di Tanjung Agung, pada tanggal
1 Januari 1917. Ayahnya bernama KH. Hosen, seorang ulama dan saudagar besar
keturunan Bugis. Sedangkan ibunya bernama Siti Zawiyah, seorang anak bangsawan
dari keluarga ningrat. Prof. Ibrahim wafat pada 7 November 2001.
Kisah di bawah ini dituturkan kembali oleh putera bungsu KH
Ibrahim Hosen, Prof. Nadirsyah Hosen yang juga Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia - New Zealand dan juga Dosen Senior Monash Law School di Australia.
Hakim Wanita
Ketika KH A Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama, ia telah
membuka pintu secara administratif perempuan untuk bisa menjadi hakim. Namun
landasan fiqh-nya belum sempat dirumuskan. Di sana-sini masih banyak penolakan
para alim ulama akan status dan kedudukan perempuan sebagai hakim di Pengadilan
Agama.
Jumhur ulama dari mazhab Syafi'i, Hanbali dan Maliki tidak
membolehkan. Imam Abu Hanifah membolehkan dalam kasus di luar hudud dan qisas.
Ibn Jarir al-Thabari membolehkan secara mutlak. Pendapat mana yang mau dipilih?
Maka terjadilah Bahtsul Masail para ulama tingkat atas di
lingkungan Nahdlatul Ulama. Hampir ulama besar datang dan terlibat mmbuat urun rembug
dalam kajian tersebut. Pandangan para
ulama NU mengerucut pada dua blok besar: mereka yang mengikuti pandangan KH
Mahrus Ali dari Pesantren Lirboyo, dan mereka yang mengikuti pandangan Prof KH
Ibrahim Hosen (guru besar fikih perbandingan IAIN Syaruf Hidayatullah dan
Rektor PTIQ dan IIQ)
Kiai Mahrus Ali tidak membolehkan dengan mengikuti jumhur
sedangkan Kiai Ibrahim membolehkan dengan mengikuti pendapat Hanafi dan
Thabari. Sebagai catatan, pendapat Hanafi dan Thabari bisa digabungkan karena
yurisdiksi Peradilan Agama di Indonesia terbatas pada masalah ahwalus
syakhsiyah (nikah, cerai, rujuk, pioligami, kewarisan, dan lainnya) dan tidak
masuk wilayah jinayah (pidana).
Berjalan Panas
Perdebatan kedua kubu sangat panas dengan masing-masing
mengeluarkan argumentasi dan rujukannya. Tumpukan kitab dibacakan untuk saling memperkuat
argumennya. Akhirnya diskusi diskors untuk makan siang dan shalat zuhur.
Di saat makan itulah Kiai Ibrahim mendekati Kiai Mahrus Ali
dan duduk dalam meja yang sama. Kiai Ibrahim yang secara usia lebuh muda 10
tahun dengan takzim dan tawadluk mendekati Kiai Mahrus.
Kiai Ibrahim kemudian sedikit berbasa basi soal Cirebon,
Kiai Mahrus sedikit kaget. Apalagi kemudian Kiai Ibrahim menyebut paman Kiai Mahrus,
Kiai Abbas Buntet. "Kiai, sebelum saya berangkat sekolah ke al-Azhar
Cairo, saya belajar khusus kepada Kiai Abbas di Buntet."
Mendengar itu, Kiai Mahrus langsung bangun dari kursinya dan
memeluk Kiai Ibrahim. "Kiai Abbas itu Waliyullah, beliau paman saya!"
Jika sosok ini murid khusus Kiai ASbbas, maka bukan sembarangan. Kiai Mahrus
befrceeruta banyak tentang Kiai Abbas dan dilengkapi pula dengan kesaksian Kiai
Ibrahim Hosen.
Diterima Hakim Wanita
Sesi berikutnya dibuka. Para ulama kembali membuka
kitab-kitabnya untuk kembali diajukan sebagai argumen. Namun, sebelum acara
dibuka resmi, Kiai Mahrus mengangkat tangannya. "Diskusi tidak perlu
dilanjutkan, sudah selesai, saya setuju perempuan enjadi hakim." Semua
kaget. Dan kemudian terdengarlah suara ajakan membaca surah Al-Fatihah.
Para ulama yang hadir heran, terutama yang satu kubu dengan
Kiai Mahrus. Apa yang terjadi? Apa karena diplomasi Kiai Ibrahim yang canggih?
Kiai Ibrahim kemudian menjelaskan kepada anak kesayangannya,
Nadirsyah, saat mengenang ulama besar Kiai Mahrus Ali yang wafat tahun 1985,
setahun setelah Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur.
Sambil berkaca-kaca Kiai Ibrahim berkata: "Kiai Mahrus
Ali itu ulama besar. Beliau paham perbedaan mazhab. Beliau hanya ingin
diyakinkan bahwa Abah sudah menghitung dampak dari memilih mazhab Hanafi dan
Thabari untuk masalah ini. Ketika disampaikan bahwa Abah santri kesayangan dari
Kiai Abbas Buntet, Kiai Mahrus Ali seketika menjadi yakin bahwa seorang santri
Buntet dibawah bimbingan langsung Kiai Abbas akan tahu bahwa fatwa itu tidak
boleh sembarangan dikeluarkan. Kiai Abbas memang waliyullah."
Kiai Ibrahim kemudian membaca Al-Fatihah untuk ulama-ulama
itu.
Kiai Ibrahim kemudian bercerita hubungan eratnya dengan Kiai
Mahrus setelah kasus itu. Kiai Mahrus pernah menanyakan perkembangan Institut
Ilmu al-Qur'an (IIQ) saat awal berdirinya tahun 1977. Bahkan Kiai Mahrus meng-ijazahi
bacaan shalawat untuk kelangsungan perguruan tinggi yang menyebarkan panji Islam
itu yang kemudian menjadi bacaan rutin mahasiswi IIQ.
Maka, ketika Muktamar NU di Pesantren Lirboyo 1999, Nadirsyah
Hosen sowan ke rumah Kiai Kafabihi Mahrus Ali, putra Kiai Mahrus. “Beliau
memeluk saya dan berkata, "Abah saya (Kiai Mahrus) pesan: Kiai yang alim
soal ushul al-fiqh itu Prof KH Ibrahim Hosen."
Begitulah kehidupan para ulama. Mereka tahu argumen
masing-masing. Mereka saling mencintai dan menghormati. Tinggal kita saja
generasi berikutnya yang harus melanjutkan nilai-nilai yang para masyayikh sudah
ajarkan kepada kita. Kalau sekarang kita melihat banyak perempuan yang menjadi
hakim di Pengadilan Agama, ingatlah dengan kisah ini: semuanya dimulai dari
diskusi hangat para ulama itu.
Bacakan Al-Fatihah untuk para ulama kita terutama dua ulama
pendekar fikih NU di atas. (MH)