MUI dan Pidana Kekerasan Rumah Tangga

Hati-hati dengan tindakan yang mengakibatkan timbulnya kekerasan rumah tangga, baik berbentuk kekerasan fisik atau psikologis. Kekerasan fi...

Hati-hati dengan tindakan yang mengakibatkan timbulnya kekerasan rumah tangga, baik berbentuk kekerasan fisik atau psikologis. Kekerasan fisik bisa berbentuk pemaksaan hubungan seksual dengan istri yang jika dilaporkan bisa berakibat hukum. Sebab, dalam UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kemerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), hal-hal yang terkait masalah tersebut termaktub.


Dalam Undang-Undang ini disebutkan: "Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga." (Bab 1 Pasal 1).
UU ini dilaksanakan (Bab II Pasal 3) berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, nondiskriminasi; dan perlindungan korban. Pada Pasal 4 menyatakan: "Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan: mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Pada Bab III Pasal 5 menyatakan: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya, dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga."
Sanksinya: Dalam Bab VIII Pasal 44 disebutkan: "Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)."
Kemudian dalam Pasal 47 menyuatakan: "Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)."

Tugas Ulama
Persoalan ini menjadi pemikiran para ulama untuk mencegah agar suami dan istri tidak terlibat dalam kasus pidana KDRT terkait UU nomor 23 ini. Sehingga sejumlah ulama MUI dalam Munas ke IX di Surabaya, 9-12 Zulkaidah 1436 atau 24-27 Agustus 2015 mencermati hal ini hingga tertuang dalam sebuah fatwa tertanggal 26 Agustus (11 Zulkaidah) yang disahkan Sidang Pleno yang dipimpin Drs. H. Slamet Effendi Yusuf sebagai ketua dan Dr. Nur Ahmad sebagai sekretaris.
Terkait dalam pemaksaan hubungan seksual, Komisi Fatwa MUI melihat hal tersebut bukan masuk ranah pidana (jarimah), namun hanya khilaful awla (tidak sesuai dengan yang utama) yang tidak layak dipidananya. “Kriminalisasi hubungan suami istri bertentangan dengan hukum Islam,” tulis fatwa tersebut. Makna kriminalisasi adalah tindakan yang bukan kriminal namun dipaksanakan masuk dalam ranah krominal.
Menurut Komisi Fatwa MUI, hubungan suami istri adalah hubungan persetubuhan (seksual) yang dilakukan pasangan yang sah. Berbeda dengan perlokosaan yang merupakan perbuatan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bukan istrinya yang dilakukan dalam kondisi pemaksaan dan atau dibawah ancaman. Jadi, tidak bisa disamakan antara kekerasan seksual yang dilakukan suami istri dengan pemerkosaan yang dilakukan bukan suami istri dan memiliki unsur paksaan.
Dalam fatwa MUI tersebut disebutkan, pada saat tertentu suami bisa haram menyetubuhi istrinya, yaitu jika dalam keadaan haid dan nifas, suami istri sedang berpuasa Ramadan (wajib), suami dan istri sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah, melakukan liwath (anal seks), dan kondisi sakit yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan hubungan seksual. Hubungan seksual yang diperkenankan termasuk ibadah seperti tercantum dakam hadis Muslim.
Karena itu pihak laki-laki juga diharapkan memahanmi situasi dan kondisi istri ketika melakukan hubungan seksual. “Suami wajib melakukan interaksi dengan istri secara makruf (mu'asarah bil m a'ruf) dan karenanya suami tidak boleh memaksa hubungan seksual kepada istri dan istri wajib taat kepada suami sepanjang tidak melakukan maksiat. Karenanya istri tidak boleh menolak ajakan suami melakukan hubungan seksual kecuali dalam kondisi terlarang secara syar'i,” tulis putusan Fatwa itu.
Penolakan ajakan suami tanpa ada halangan masuk dalam ancaman hadis. “Apabila suami mengajak istri berhubungan dan ia enggan yang menyebabkan suami marah, maka ia dilaknat malaikat ampai waktu subuh.” Hadis inj diriwayatkan Imam Bukhari.
Karena itu Munas MUI ke 17 meminta DPR untuk merevisi UU nomor 23 Penghapusan KDRT. Mui juga mendesak aparat penegak hukum juga harus memahami bahwa pidana perkosaan tidak bisa diterapkan untuk hubungan istri. Disamping itu masyarakat juga diminta untuk memahami kaidah dalam perkawinan agar perkawinan menjadi langgeng dan sakinah. (MH)

Baca Juga:

Nasional 6674158404332003511

Posting Komentar

emo-but-icon

Video Berita Haji

Populer

Terbaru

Iklan

item