Khazanah: Dialog Haji Mabrur Assajjad dan Assibli
Lukisan Mekah masa lalu Kisah ini sangat populer dalam khazanah sufisme tentang perhajian. Sebuah dialog yang sangat menyentuh antara S...

http://www.keretawaktu.com/2015/05/khazanah-dialog-haji-mabrur-assajjad.html
![]() |
Lukisan Mekah masa lalu |
Kisah
ini sangat populer dalam khazanah sufisme tentang perhajian. Sebuah
dialog yang sangat menyentuh antara Sayyidina Ali Zainal Abidin
Assajjad dengan Imam Assibli. Dialog terjadi ketika Asy-Syibli
selesai menunaikan ibadah haji dan berkunjung ke salah satu cucu
Rasulullah itu.
Namun,
lebuh dahuilu kita mengenal, siapa gerangan Sayyid Ali Zainal Abidin
ini. Sayyid Ali bin Husain adalah
putera Sayyidina Husein cucu Rasulullah.
Ia salah satu putera Sayyidina Husein yang selamat dalam perang
Karbala. Ia juga dikenal pula dengan gelar Zainal Abidin dan juga
Assajjad, karena sangat banyak sujudnya.
Ali
bin Husain dilahirkan di Madinah pada tahun 38 H/658-659 M menurut
mayoritas riwayat yang ada. Dalam riwayat lainnya menyatakan ia
dilahirkan pada tanggal 15 Jumadil Ula 36 H. Dua tahun tinggal
bersama kakeknya, Ali bin Abi Thalib, dua belas tahun tinggal bersama
pamannya, al-Hasan,
dan
23 tahun tinggal bersama ayahnya, al-Husain.
Dia wafat di Madinah pada 95 H/713 M dalam usia 57 tahun, ada pula
yang menyatakan wafat pada 25 Muharram 95 H.
Ada
beberapa riwayat yang menyatakan tentang siapa ibu dari Ali
Zainal Abidin.
Riwayat
pertama menyatakan bahwa ibunya bernama Syahzanan putri dari
Yazdigard bin Syahriyar bin Choesroe. Selain itu disebut juga ia
bernama Syahrbanawaih. Khalifah Ali
bin Abi Thalib
mengangkat Huraits bin Jabir al-Hanafi untuk menangani urusan bagian
provinsi-provinsi timur, Huraits memberikan kepada Ali dua putri
Yazdigard bin Syahriyar bin Choesroe. Salah satu putri Yazdigard ini
yang bernama Syahzanan diberikan Ali kepada putranya yang bernama
al-Husain.
Ali memberikan putri Yazdigard yang satunya lagi kepada Muhammad
bin Abu Bakar
(putera
Khalifah Abu Bakar Assiddiq),
yang kemudian melahirkan seorang anak lelaki bernama al-Qasim.[2]
Riwayat
lainnya menyatakan bahwa ibunya bernama Syahrbanu, putri Yazdigird,
kaisar terakhir Sasaniyah, Persia.
Oleh karena itu Ali Zainal Abidin dijuluki pula Ibn al-Khiyaratyn,
yaitu anak dari dua yang terbaik, yaitu Quraisy
di antara orang Arab dan Persia
di antara orang non-Arab. Menurut riwayat itu ibunya dibawa ke
Madinah
sebagai tahanan pada masa kekhalifahan Umar
bin Khattab
yang hendak menjualnya. Namun Ali
bin Abi Thalib
menyarankan sebaiknya Syahrbanu terlebih dahulu diberi pilihan untuk
menjadi istri salah seorang Muslim, dan mas kawinnya diambil dari
Baitul Mal. Khalifah Umar
menyetujuinya, dan akhirnya Syahrbanu memilih putra Ali
bin Abi Thalib
yaitu Husain.
Konon Syahrbanu wafat tak lama setelah melahirkan anak semata
wayangnya ini.
Lantas,
siapa sebenarnya Asy-Syibli? Dia adalah Abu Bakr ibnu Dulaf ibnu
Jahdar (Asy-Syibli). Asy-Syibli termasuk guru sufi awal.
Imam
Asy-Syibli termasuk seorang murid Imam Ali Zainal ‘Abidin. Setelah
selesai menunaikan ibadah haji, ia segera menemui Ali untuk
menyampaikan pengalaman hajinya. Terjadilah percakapan di antara
mereka.
“Wahai
Syibli, bukankah engkau telah selesai menunaikan ibadah haji?”
tanya Ali.
Ia
menjawab, “Benar, wahai Guru.”
“Apakah
engkau berhenti di Miqat, lalu menanggalkan semua pakaian yang
terjahit, dan kemudian mandi?”
Asy-Syibli
menjawab, “Benar.”
“Ketika
berhenti di Miqat, apakah engkau bertekad untuk menanggalkan semua
pakaian maksiat dan menggantinya dengan pakaian taat? Ketika
menanggalkan semua pakaian terlarang itu, adakah engkau pun
menanggalkan sifat riya, nifaq, serta segala syubhat? Ketika mandi
sebelum memulai ihram, adakah engkau berniat membersihkan dari segala
pelanggaran dan dosa?”
Asy-Syibli
menjawab, “Tidak.”
“Kalau
begitu, engkau tidak berhenti di Miqat, tidak menanggalkan pakaian
yang terjahit, dan tidak pula membersihkan diri!”
Ali
bertanya kembali, “Ketika mandi dan berihram serta mengucapkan
niat, adakah engkau bertekad untuk membersihkan diri dengan cahaya
tobat? Ketika niat berihram, adakah engkau mengharamkan atas dirimu
semua yang diharamkan Allah? Ketika mulai mengikatkan diri dalam
ibadah haji, apakah engkau rela melepaskan semua ikatan selain
Allah?”
“Tidak,”
jawabnya.
“Kalau
begitu, engkau tidak membersihkan diri, tidak berihram, tidak pula
mengikatkan diri dalam haji Bukankah engkau telah memasuki Miqat,
lalu shalat dua rakaat, dan setelah itu engkau mulai bertalbiyah?”
“Ya,
benar wahai cucu Rasulullah.”
“Apakah
ketika memasuki Miqat engkau meniatkannya sebagai ziarah menuju
keridhaan Allah? Ketika shalat dua rakaat, adakah engkau berniat
mendekatkan diri kepada Allah?”
“Tidak,
wahai Guru.”
“Kalau
begitu engkau tidak memasuki Miqat, tidak bertalbiyah dan tidak
shalat ihram dua rakaat!,” tegas Ali Zainal ‘Abidin.
“Apakah
engkau memasuki Masjidil Haram, memandang Ka’bah serta shalat di
sana?”
“Benar.”
“Ketika
memasuki Masjidil Haram, apakah engkau berniat mengharamkan dirimu
segala macam ghibah? Ketika sampai di Mekkah, apakah engkau bertekad
untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan?”
“Tidak,”
jawabnya.
“Sesungguhnya,
engkau belum memasuki Masjidil Haram, tidak memandang Kakbah, serta
tidak shalat pula di sana!”
Ali
bertanya kembali, “Apakah engkau telah berthawaf dan berniat untuk
berjalan serta berlari menuju keridhaan Allah?
“Tidak.”
“Kalau
begitu, engkau tidak berthawaf dan tidak pula menyentuh
rukun-rukunnya!”
Tanpa
bosan Ali kembali bertanya, “Apakah engkau berjabat tangan dengan
Hajar Aswad dan shalat di Maqam Ibrahim?”
Dijawabnya,
“Benar.”
Mendengar
jawaban itu, Ali Zainal ‘Abidin menangis, seraya berucap, “Oooh,
barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan ia berjabat
tangan dengan Allah. Maka ingatlah, janganlah sekali-kali engkau
menghancurkan kemuliaan yang telah diraih, serta membatalkan
kehormatanmu dengan aneka dosa!”
Cucu
Rasulullah SAW ini terus mencecar muridnya. “Saat berdiri di Maqam
Ibrahim, apakah engkau bertekad untuk tetap berada di jalan taat
serta menjauhkan diri dari maksiat? Ketika shalat dua rakat di sana,
apakah engkau bertekad untuk mengikuti jejak Ibrahim serta menentang
semua bisikan setan?”
“Tidak.”
“Kalau
begitu, engkau tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, tidak
berdiri di Maqam Ibrahim, tidak pula shalat dua rakaat!”
Lanjutnya,
“Apakah ketika melakukan Sa’i, antara Shafa dan Marwah, engkau
menempatkan diri di antara harapan akan rahmat Allah dan rasa takut
menghadapi murkaNya?”
“Tidak,”
jawab Asy-Syibli.
“Kalau
begitu, engkau tidak melakukan perjalanan antara dua bukit itu!
Ketika pergi ke Mina, apakah engkau bertekad agar orang-orang merasa
aman dari gangguan lidah, hati, serta tanganmu?”
“Tidak.”
Ali
menggelengkan kepala, “Kalau begitu, engkau belum ke Mina!”
Tanyanya
lagi: “Apakah engkau telah Wukuf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah,
mengunjungi Wadi Namirah, serta memanjatkan doa-doa di bukit
Shakharat?”
“Benar,
seperti itu.”
“Ketika
engkau melakukan wukuf di Arafah, apakah engkau menghayati kebesaran
Allah, serta berniat mendalami ilmu yang dapat mengantarkanmu
kepada-Nya? Apakah ketika itu engkau merasakan kedekatan yang
demikian dekat denganmu? Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah engkau
mendambakan Rahmat Allah bagi setiap mukmin? Ketika berada di Wadi
Namirah, apakah engkau berketetapan hati untuk tidak meng-amar-kan
yang ma’ruf, sebelum engkau meng-amar-kannya pada dirimu sendiri?
Serta tidak melarang seseorang melakukan sesuatu sebelum engkau
melarang diri sendiri? Ketika berada di antara bukit-bukit sana,
apakah engkau sadar bahwa tempat itu akan menjadi saksi segala
perbuatanmu?”
“Tidak.”
“Kalau
begitu, engkau tidak wukuf di Arafah, tidak mendaki Jabal Rahmah,
tidak mengenal Wadi Namirah, tidak pula berdoa di sana!”
Asy-Syibli
tercengang.
“ Apakah
engkau telah melewati kedua bukit Al-’Alamain, melakukan shalat dua
rakaat sebelumnya, lalu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk
memungut batu-batu di sana, lalu melewati Masy’aral Haram?”
“Ya,
benar.”
“Ketika
shalat dua rakaat, apakah engkau meniatkannya sebagai shalat syukur,
pada malam menjelang sepuluh Dzulhijjah, dengan mengharap
tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan?
Ketika lewat di antara bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh
kanan kiri, apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak bergeser dari
Islam; tidak dengan hatimu, lidahmu, dan semua gerak gerikmu? Ketika
berangkat ke Muzdalifah, apakah engkau berniat membuang jauh segala
maksiat serta bertekad untuk beramal yang diridhai-Nya? Ketika
melewati Masy’aral Haram, apakah engkau mengisyaratkan untuk
bersyiar seperti orang-orang takwa kepada Allah?”
“Tidak.”
“Wahai
Syibli, sesungguhnya engkau tidak melakukan itu semua!”
Ali
Zainal ‘Abidin melanjutkan, “Ketika engkau sampai di Mina, apakah
engkau yakin telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua
hajatmu? Ketika melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk
melempar dan memerangi iblis, musuh besarmu? Ketika mencukur rambut
(tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur segala kenistaan?
Ketika shalat di Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak
takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali
dari-Nya semata? Ketika memotong hewan kurban, apakah engkau bertekad
untuk memotong urat ketamakan; serta mengikuti teladan Ibrahim yang
rela mengorbankan apapun demi Allah? Ketika kembali ke Mekkah dan
melakukan Thawaf Ifadhah, apakah engkau meniatkannya untuk berifadhah
dari pusat rahmat Allah, kembali dan berserah kepadaNya?”
Dengan
gemetar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru.”
“Sungguh,
engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak bertahallul,
tidak menyembelih kurban, tidak manasik, tidak shalat di Masjid
Khaif, tidak Thawaf Ifadhah, tidak pula mendekat kepada Allah!
Kembalilah, kembalilah! Sesungguhnya engkau belum menunaikan haji!”
Asy-Syibli
menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya.
Sejak itu, ia giat memperdalam ilmunya, sehingga tahun berikutnya ia
kembali berhaji dengan ma’rifat serta keyakinan penuh.
Tangis
Asy-Syibli sangat terkenal dengan tangisan haji dan dialog ini
menjadi pelajaran berharga bagi kaum muslimin untuk menata niat dan
hatinya. Dialog ini harus menginspirasi setiap kaum muslimin yang
berhaji agar haji terhindar dari sinyalemen Rasulullah, bahwa akan
banyak orang yang berhaji dan umrah hanya untuk tujuan wisata.
Na'udzu billah. (MH)