Untuk Apa Foto Pra Nikah

Akhir-akhir ini dengan semakin majunya teknologi banyak kalangan menyisipkan foto pasangan yang hendak menikah dalam undangan. Bagaimana hu...

Akhir-akhir ini dengan semakin majunya teknologi banyak kalangan menyisipkan foto pasangan yang hendak menikah dalam undangan. Bagaimana hukumnya?



Seorang yang telah berusia lanjut dibuat kaget mendapat undangan pernikahan kerabat dekatnya. Pasalnya, dalam undangan itu terdapat beberapa foto pasangan calon pengantin yang menunjukkan kemesraan seolah sudah menjadi suami istri. “Apakah mereka sudah menikah?” kata orang tua itu.
Tentu belum. Sebab, dalam undangan itu tercantum bahwa akad nikahkan baru akan diselenggarakan di masjid beberapa jam sebelum resepsi. Orang tua itu seperti menyesali sesuatu. “Apakah budaya haram terkait dengan pasangan anak muda di kalangan kita sudah sedemikian meluas?” tukasnya.
Beberapa adegan foto dalam undangan itu memang semacam rekaman kemaksiatan yang dilakukan pasangan itu. Tampak foto saling berpegangan tangan dan pelukan seolah bintang film dalam adegan kemesraan. Bahkan yang tak habis dalam pikiran orang tua itu adalah pakaian yang dikenakan calon pengantin wanita yang terbuka. “Sebuah fenomena Barat yang ditelan mentah-mentah tanpa memperhatikan norma budaya dan agama,” kata orang tua itu.
Tak bisa dipungkiri, terutama di kalangan selebriti dan diikuti kalangan menengah atas kita yang terbiasa mengadopsi mentah-mentah dan mengunyah gaya Barat dalam budaya perkawinan. Foto-foto itu tak hanya dipajang dalam undangan tapi juga dalam beberapa hiasan di gedung tempat resepsi. Foto-foto ini kemudian dikenal dengan sebutan foto pra-nikah atau foto pre-wedding.
Perkawinan, meskipun memiliki nilai kesenangan dan keriangan, tapi memiliki juga nilai sakral. Karena dari perkawinan itulah sesuatu yang semula dilarang menjadi boleh. Perkawinan harus diuntai dengan nilai sarat agama karena ia bernilai ibadah dan diharapkan abadi hingga di akhirat kelak. Karena itu selayaknya pula pernikahan harus dibungkus rapi dalam tatanan nilai-nilai agama dan sama sekali dijauhkan dari kemaksiatan.
Secara kebetulan, sekitar 4 tahun yang lalu, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur memutuskan haram foto pra-nikah. Fatwa yang dilahirkan forum yang dihadiri oleh 258 peserta dari 46 pondok pesantren se-Jawa Timur itu juga akhirnya didukung sejumlah ulama lainnya, termasuk dari MUI Pusat dan beberapa MUI Daerah. Fatwa itu dianggap sebagai penyadaran kepada pasangan dan orang tua muslim agar jangan latah dengan budaya Barat. Sebab, proses pembuatan foto pra-nikah itu memiliki nuansa maksiat yang mendekati dosa. Mereka yang dipotret bersamaan dalam kondisi masih belum menjadi muhrimnya.
Dalam kaitan hukum Islam, laki-laki hanya boleh melihat wajah dan tangan calon istrinya saat meminang. Itu pun hanya saat itu saja. Tak boleh dilakukan berkali-kali. Laki-laki juga tak boleh menyentuhnya, termasuk jabat tangan. Sebelum menjadi pasangan suami istri tak boleh berjalan berdua atau berduaan di tempat sepi (khalwat).


Godaan Setan
Di mana haramnya? Pertama, terjadi suasana saling pandang dan baur yang bebas dalam pemotretan. Rasulullah bersabda kepada Sayidina Ali. “Wahai Ali jangan ikutkan pandanganmu pada pandangan berikutnya. Karena yang bagianmu adalah pandangan yang pertama dan tidak ada lagi pandangan berikutnya.” (Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi).
Dalam hadis riwayat Imam Ahmad Rasulullah bersabda: “Tiada seorang muslim pun yang memandang kecantikan seorang wanita dan kemudian ia memalingkan matanya, maka kecuali Allah akan menggantikannya dengan ibadah yang manisnya ditemukan dalam hatinya.”
Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan sekali-kali menyepi dengan seorang perempuan yang tidak disertai muhrimnya, karena pihak ketiga adalah setan.” Dalam kaitan ini, telah jatuh haram sejak dalam proses pemotretannya karena telah dilakukan dalam situasi dan secara bersama-sama.
Kedua, telah menyebarluaskan keharaman dalam bentuk foto-foto dalam undangan dan hiasan dalam gedung tempat resepsi sehingga termasuk maksiat yang terang-terangan, yang masuk dalam kategori dosa besar. Ketiga, jika adegan foto itu menggambarkan sensualitas, seperti berpegangan tangan atau hingga pelukan, pakaian serba terbuka, maka akan menambah nilai haramnya. Keempat, setidaknya telah menimbulkan fitnah dan tuduhan tidak sedap terhadap pasangan pengantin itu. Karena itu, foro pra-nikah harus dihindari.
Namun, tentu ada pengecualian. Hal itu hanya bisa dilakukan jika, pertama: foto masing-masing pasangan terpisah dan pemotretannya dilakukan secara terpisah. Juga harus ada penjelasan tentang lokasi foto agar tidak menimbulkan fitnah. Untuk menghindari fitnah, cantumkan foto keluarga masing-masing. Kedua, foto harus menutup aurat. Ketiga, jika foto dilakukan setelah menikah, maka perlu ada keterangan dan penjelasan di bawahnya; bahwa pemotretan dilakukan setelah akad nikah agar tidak menimbulkan fitnah dan gunjingan di kemudian hari. (Musthafa Helmy)

(bahan-bahan I’anatuth Thalibin oleh Sayyid Abubakar Al-Bakri Syatha, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Syaikh Wahbah Azzuhaili, dan Riyadlush Shalihin oleh Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarafuddin An-Nawawwi.)

Baca Juga:

Fatwa Keagamaan 2643785523625881716

Posting Komentar

emo-but-icon

Video Berita Haji

Populer

Terbaru

Iklan

item