Untuk Apa Foto Pra Nikah
Akhir-akhir ini dengan semakin majunya teknologi banyak kalangan menyisipkan foto pasangan yang hendak menikah dalam undangan. Bagaimana hu...

http://www.keretawaktu.com/2014/05/untuk-apa-foto-pra-nikah.html

Seorang
yang telah berusia lanjut dibuat kaget mendapat undangan pernikahan
kerabat dekatnya. Pasalnya, dalam undangan itu terdapat beberapa foto
pasangan calon pengantin yang menunjukkan kemesraan seolah sudah
menjadi suami istri. “Apakah mereka sudah menikah?” kata orang
tua itu.
Tentu
belum. Sebab, dalam undangan itu tercantum bahwa akad nikahkan baru
akan diselenggarakan di masjid beberapa jam sebelum resepsi. Orang
tua itu seperti menyesali sesuatu. “Apakah budaya haram terkait
dengan pasangan anak muda di kalangan kita sudah sedemikian meluas?”
tukasnya.
Beberapa
adegan foto dalam undangan itu memang semacam rekaman kemaksiatan
yang dilakukan pasangan itu. Tampak foto saling berpegangan tangan
dan pelukan seolah bintang film dalam adegan kemesraan. Bahkan yang
tak habis dalam pikiran orang tua itu adalah pakaian yang dikenakan
calon pengantin wanita yang terbuka. “Sebuah fenomena Barat yang
ditelan mentah-mentah tanpa memperhatikan norma budaya dan agama,”
kata orang tua itu.
Tak
bisa dipungkiri, terutama di kalangan selebriti dan diikuti kalangan
menengah atas kita yang terbiasa mengadopsi mentah-mentah dan
mengunyah gaya Barat dalam budaya perkawinan. Foto-foto itu tak hanya
dipajang dalam undangan tapi juga dalam beberapa hiasan di gedung
tempat resepsi. Foto-foto ini kemudian dikenal dengan sebutan foto
pra-nikah atau foto pre-wedding.
Perkawinan,
meskipun memiliki nilai kesenangan dan keriangan, tapi memiliki juga
nilai sakral. Karena dari perkawinan itulah sesuatu yang semula
dilarang menjadi boleh. Perkawinan harus diuntai dengan nilai sarat
agama karena ia bernilai ibadah dan diharapkan abadi hingga di
akhirat kelak. Karena itu selayaknya pula pernikahan harus dibungkus
rapi dalam tatanan nilai-nilai agama dan sama sekali dijauhkan dari
kemaksiatan.
Secara
kebetulan, sekitar 4 tahun yang lalu,
Forum
Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur memutuskan haram foto
pra-nikah. Fatwa yang dilahirkan forum yang dihadiri oleh 258 peserta
dari 46 pondok
pesantren se-Jawa Timur itu juga akhirnya didukung sejumlah ulama
lainnya, termasuk dari MUI Pusat dan beberapa MUI Daerah. Fatwa itu
dianggap sebagai penyadaran kepada pasangan dan orang tua muslim agar
jangan latah dengan budaya Barat. Sebab, proses pembuatan foto
pra-nikah itu memiliki nuansa maksiat yang mendekati dosa. Mereka
yang dipotret bersamaan dalam kondisi masih belum menjadi muhrimnya.
Dalam
kaitan hukum Islam, laki-laki hanya boleh melihat wajah dan tangan
calon istrinya saat meminang. Itu pun hanya saat itu saja. Tak boleh
dilakukan berkali-kali. Laki-laki juga tak boleh menyentuhnya,
termasuk jabat tangan. Sebelum menjadi pasangan suami istri tak boleh
berjalan berdua atau berduaan di tempat sepi (khalwat).
Godaan
Setan
Di
mana haramnya? Pertama, terjadi suasana saling pandang dan baur yang
bebas dalam pemotretan. Rasulullah bersabda kepada Sayidina Ali.
“Wahai Ali jangan ikutkan pandanganmu pada pandangan berikutnya.
Karena yang bagianmu adalah pandangan yang pertama dan tidak ada lagi
pandangan berikutnya.” (Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi).
Dalam
hadis riwayat Imam Ahmad Rasulullah bersabda: “Tiada seorang muslim
pun yang memandang kecantikan seorang wanita dan kemudian ia
memalingkan matanya, maka kecuali Allah akan menggantikannya dengan
ibadah yang manisnya ditemukan dalam hatinya.”
Dalam
sebuah hadis riwayat Ahmad dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda;
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan
sekali-kali menyepi dengan seorang perempuan yang tidak disertai
muhrimnya, karena pihak ketiga adalah setan.” Dalam kaitan ini,
telah jatuh haram sejak dalam proses pemotretannya karena telah
dilakukan dalam situasi dan secara bersama-sama.
Kedua,
telah menyebarluaskan keharaman dalam bentuk foto-foto dalam undangan
dan hiasan dalam gedung tempat resepsi sehingga termasuk maksiat yang
terang-terangan, yang masuk dalam kategori dosa besar. Ketiga, jika
adegan foto itu menggambarkan sensualitas, seperti berpegangan tangan
atau hingga pelukan, pakaian serba terbuka, maka akan menambah nilai
haramnya. Keempat, setidaknya telah menimbulkan fitnah dan tuduhan
tidak sedap terhadap pasangan pengantin itu. Karena itu, foro
pra-nikah harus dihindari.
Namun,
tentu ada pengecualian. Hal itu hanya bisa dilakukan jika, pertama:
foto masing-masing pasangan terpisah dan pemotretannya dilakukan
secara terpisah. Juga harus ada penjelasan tentang lokasi foto agar
tidak menimbulkan fitnah. Untuk menghindari fitnah, cantumkan foto
keluarga masing-masing. Kedua, foto harus menutup aurat. Ketiga, jika
foto dilakukan setelah menikah, maka perlu ada keterangan dan
penjelasan di bawahnya; bahwa pemotretan dilakukan setelah akad nikah
agar tidak menimbulkan fitnah dan gunjingan di kemudian hari. (Musthafa Helmy)
(bahan-bahan
I’anatuth Thalibin oleh Sayyid Abubakar Al-Bakri Syatha, Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Syaikh Wahbah Azzuhaili, dan Riyadlush
Shalihin oleh Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarafuddin An-Nawawwi.)