Orang Pertama Naik Haji dari Indonesia.
Dalam sejarahnya, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu hingga dua tahun lebih karena kapal-kapal m...

http://www.keretawaktu.com/2013/09/orang-pertama-naik-haji-dari-indonesia.html
Dalam
sejarahnya, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu hingga dua tahun
lebih karena kapal-kapal masih
sederhana. Perjalanan menuju tanah suci saja memakan waktu sampai enam bulan. Bukan main. Bayangkan berapa
banyak perbekalan berupa makanan dan
pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji. Itu
pun masih ada persoalan lain, keamanan.
Jalanan belum tentu aman. Kafilah haji
selalu harus waspada akan kemungkinan serangan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan,
belum lagi ancaman topan, badai dan
penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit.
![]() |
Kota suci Mekah lama abad 18 |
Karena
beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan
rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu
terhormat dalam masyarakat sekembalinya
ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “haji”, sebuah gelar yang
umum disandang para hujjaj yang tinggal di
negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Pakistan, Indonesia
dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer
di negara-negara Arab yang dekat dengan
tanah suci.
Sejak
kapan kaum muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji? Yang jelas kesadaran untuk menunaikan ibadah haji
telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi pertama semenjak
para juru dakwah penyebar agama yang
datang ke nusantara memperkenalkan agama Islam.
Prof.
Dadan Wildan Anas menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan, dikisahkan bahwa pemeluk agama Islam yang
pertama kali di tanah Sunda adalah
Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa
kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi
raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan
antara Pajajaran dengan Majapahit.
Bratalegawa
memilih hidupnya sebagai seorang saudagar dan sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India,
Srilanka, Iran, bahkan sampai ke negeri
Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan
ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai
orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Setelah
menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337
Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya,
Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil.
Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya,
Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang
menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya
pun menolak.
Naskah
kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan
ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi
Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung
Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya
tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah
haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah
putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan
pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di
Gunung Amparan Jati Cirebon.
Setelah
cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang
berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah
Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah
haji dan menambah ilmu agama Islam.
Dalam
perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah,dan
berputra dua orang yaitu Syarif
Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi
Haji Abdullah Iman, sementara
Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Sementara
dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika
itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang
politik diplomasi maupun di bidang
pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain.
Kerajaan
Atjeh dan Johor Malaysia juga mencatat perjalanan haji di abad 16 dan 17 yang begitu sulit. Demikian juga di
Banten. Pada tahun 1671 sebelum
mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk
menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan
ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan
ibadah haji, Abdul Kahar kemudian
dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Menurut
naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan
Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja.
Perjalanan haji saat itu harus dilakukan
dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada
musim.
Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal.
Perjalanan
itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju
Aceh atau serambi Mekah,pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di
sana mereka menunggu kapal ke India
untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan
waktu enam bulan atau lebih. SewaktuPerang Dunia Pertama berkecamuk, jemaah
haji hanya sampai di Pelabuhan Aden, Yaman dan melanjutkan dengan unta ke
Mekah. Hal ini dialami Mantan Ketua Umum MUI Pusat KH Syukri Gozali.
Syaikh
Yusuf Tajul Khalwati Makassar yang pernah membela Banten memerangi penjajah juga memanfaatkan naik
haji sambil berguru kepada Syaikh
Nuruddin Arraniri yang kala itu menjadi Mufti di Aceh. Sayangnya, ketika Syaikh Yusuf sampai di Aceh ternyata
Syaikh Arraniri sudah pergi ke Yaman
dengan kapal. Syaikh Yusuf mengejarnya dengan kapal berikutnya dan terus melanjutkan hingga haji.
Di
perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum
aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah
dilepas kepergiannya dengan derai air
mata; karena khawatir mereka tidak akan
kembali lagi. Sebelum meninggalkan tanah air mereka meninggalkan
wasiat. Kepergiannya juga dihantar
dengan azan dan ikamat.
Demikian
beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji.
Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya
terjangkau kaum elit, yaitu kalangan
istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa pada zaman itu- perjalanan untuk melaksanakan
ibadah haji memerlukan biaya yang sangat
besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga
telah berhasil menunaikan ibadah haji
namun tidak tercatat dalam sejarah.
Haji juga
media pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan. Banyak jemaah haji yang memanfaatkan waktu selama di Mekah
dan Madinah untuk belajar agama Islam.
Komunikasi dan transportasi yang sulit membuat jemaah haji memanfaatkan betul eksempatan berhaji itu
untuk menguatkan iman dan menambah
pengetahuan agama mereka. Syaikh Ahmad Qusyairi bin Siddiq dari Pasuruan, Jawa Timur, misalnya,
menyempatkan menghafal Al-Quran 30 juz selama
di Mekah dan menulis beberapa kitab dalam bahasa Arab.
Sekarang
perjalanan haji tidak sesulit zaman dulu. Pemerintah sudah berupaya mempermudah perjalanan haji dan
memberikan pelayanan sebaik -baiknya bagi kaum muslimin yang ingin
menunaikannya. Namun, sayangnya,
fasilitas di Arab Saudi terbatas sehingga jemaah haji harus dibatasi. Inilah persoalan, ketika umat Islam
sudah mencapai 1,6 miliar jiwa. (Musthafa
Helmy)