Tausiyah: Upah Bekerja Tiga Hari
Malam ini indah. Keluarga Abnar sengaja menghibur diri di luar rumah menikmati malam purnama. Tak hanya mereka, sumi isteri dengan lima or...

Malam ini indah. Keluarga Abnar sengaja menghibur diri di luar rumah menikmati malam purnama. Tak hanya mereka, sumi isteri dengan lima orang anak itu. Tetangganya juga tengah menikmati malam yang terang dengan sinar rembulan.
Namun, Abnar
dan istrinya tak bisa menyembunyikan kegelisahan di balik tawa anak-anaknya.
Sudah sebulan ini Abnar tidak bekerja. Hutang sudah menumpuk dari beberapa orang
dan warung sebelah untuk mempertahankan hidup keluarganya.
Malam ini,
mereka menahan lapar karena tidak ada yang dimakan lagi. Abnar tak sanggup lagi
mencari pinjaman, karena tak ada lagi yang bisa dijadikan sasaran peminjaman
dan ketakuan tak bias membayar.
Ketika sudah
lelah, anak-anak masuk ke dalam. Abnar menatap langit. Rembulan itu apakah
tengah mencibir, mentertawakan atau menangisinya. Awan hitam kadang menggoda
bulan purnama yang semakin malam semakin sunyi.
Hari Pertama
Abnar
mengandalkan bekeja esok hari di kebun anggur milik Tuan Filman yang selalu
mencari pekerja ketika musim panen tiba. Ia berharap dari situ ia bisa memberi
makan anak-anaknya.
Namun hari
pertama iu, ia tidak kebagian. Dari 100 orang yang diterima, Abnar menjadi
orang nomor 120 sehingga ia tidak masuk hitungan yang pekerjakan. Ia tidak
ingin pulang, maka ia mencoba menghibur diri ke pantai Haifa.
Melihat
lantai yang kotor naluinya bangkit untuk memebersihkannya. Ia bersihkan pantai sejauh berkilo-kilo.
Letih ia pun tertidur. Ia bangun ketika seekor binatang merambati tubuhnya.
“Siapa tahu
dngan bekerja di pantai ini nanti Allah akan memberiku kemudahan rejeki
keesokan harinya,” katanya dalam hati.
Hari kedua.
Malam itu
Abnar kebali sulit memicingkan mata. Masih terbayang betapa gembiranya para
pekerja pemetik anggur itu ketika menerima upah satu Mina sepuluh Peser. Angka
itu sungguh angka yang cukup untuk makan keluarga selama tiga hari.
Sayang,
Abnar gagal mendapatkan giliran bekerja memetik anggur itu. Ia akan akan datang
lebih pagi agar bisa masuk giliran. Ia akan melangkah sebelum subuh ke kebun
Tuan Filman pemilik ladang anggur terbesar di Kibra.
Perlahan ia
tertidur seolah dielus awan hitam di langit yang masih memutih karena sinar
rembulan. Tak lagi terdengar suara manusia, juga binatang. Gelap mengantar
semua untuk cepat masuk dalam dekapannya. Abnar, istrinya serta anak-anaknya
seolah dipertemukan dengan mimpi indah yang mengubah rasa lapar mereka.
Sebelum
subuh ia sudah bergegas pergi. Cahaya bulan menolong langkahnya meniti gelap.
Ia sampai di kebun Tuan Filman, ternyata sudah banyak orang yang sudah
mengantre. Abnar mengelus dada, dan ia berharap bisa mendapat giliran. Secara
urutan, posisinya lebih baik dari kemarin. Dalam perhitungan, ia akan masuk
panggilan bekerja hari ini.
Cukup lama
gerbang dibuka. Ketika seorang berkulit gelap muncul dengan mengikatkan surban
di kepala ala kadarnya, membuka pintu. Ia kemudian memanggil satu persatu dengn
isyarat.
“Kamu, kamu,
kamu….” dan seteusnya.
Satu persatu
para pengantre masuk. Tiba-tiba, sekitar tiga orang lagi mencapai giliran
Abnar, petugas itu menutup pintu.
“Saya,”
sergah Abnar sambil mendekati petugas itu.
“Kamu? Ya
kenapa?”
“Aku tidak
mendapat giliran?”
“Hari ini
Tuan Filman membatasi pekerja hanya 75 orang. Kemarin memang 100 orang.”
“Tolonglah
saya. Tidak bisakah Tuan membantu saya untuk ikut?” tanya Abnar gelisah.
“Tidak bisa.
Hanya Tuan Filman yang bisa memutuskan.”
“Bisakah aku
bertemu dengannya?”
“Dia ke
kota.”
“Tak adakah
yang bisa membantuku lagi?”
“Tidak ada.
Pergilah. Aku akan menutup gerbang,” kata laki-laki itu sambil menatap iba Abnar,
lelaki-laki yang mulai memutih rambutnya.
“Aku,
istriku dan anak-anak sebanyak lima orang sangat membutuhkan pekerjaan.”
Laki-laki
berkulit gelap itu hanya tersenyum membalas kepedihan Abnar.
Abnar
tercenung sejenak. Ia hanya bisa menatap hamparan kebun anggur yang luas dengan
suara hiruk pikuk pemetiknya. Ia tak mungkin kembali ke rumah, Ia mengarah ke
pantai, sekitar dua mil. Seperti kemarin, ia membersihkan pantai dan berdoa.
“Tuhan, seperti
kemarin, Aku ingin bekerja kepadamu,” katanya.
Setelah
letiih ia kemudian tertidur di pinggir pantai. Ia terbagun ketika air mulai
pasang hingga menyentuh kakinya. Ternyata matahari sudah menyingsing ke barat.
Ia harus pulang dan kembali dengan tangan hampa.
“Bagaiman
pak?” tanya istrinya.
“Yah aku bekerja
pada guruku.”
“Tak membawa
sesuatu hari ini?”
“Belum
saatnya aku mendapat upah.”
“Boleh aku
hutang dulu ke warung sebelah?”
“Iya.”
“Tapi, nanti
kita bayar kan?”
“Tentu, jika
guru sudah membayarku. Berapa hutang kita?’
“Sudah
mencapai 10 Mina 50 Peser.”
“Cukup
banyak juga.”
Malam ini
mereka hanya makan tiga lembar roti dibagi rata tanpa mentega dan saus. Si
kecil diberi porsi lebih banyak.
Malam itu
kembali mereka tidur nyenyak.
Menjelang
subuh ia kembali bangun dan bergegas mencari kerja.
Hari Ketiga
Abnar
semakin mempercepat langkah menuju kebun anggur Filman. Ia hampir jatuh karena
tersandung batu besar di jalan. Maklum, bulan sudah mulai memudar cahayanya. Ia
kembali berbaris sambil duduk dengan peserta lainnya. Ia mendengar
cerita-cerita mereka yang upahnya dinaikkan menjadi dua Mina 50 Peser. Mereka
berharap hari terakhir ini upah juga lebih baik.
Laki-laki
betkulit gelap membuka gerbang dan memanggil satu-satu persatu. Ia melihat
Abnar. Ia agak lama menatapnya. Abnar berharap masuk panggilan.
Dari mereka
yang dipanggil tingal satu dari 75 orang. Abnar sial. Ia menjadi orang nomor
76, yang tidak dapat ikut.
“Aku gagal
lagi?” tanya kepada laki-laki berkulit gelap itu. Laki-laki itu hanya
mengangguk sambil menutup gerbang.
“Tidakkah
bisa kau usulkan tambahan satu orang saja kepada Tuan Filman?”
Ia
mengeleng. “Hari ini terakhir.”
Abnar
mencoba tersenyum. Kali ini kembali gagal dan tak ada lagi hari esok di kebun
anggur. Panen anggur ini hanya tiga hari dan besok akan ditutup dengan pesta anggur.
Semua warga dipersilahkan menikmati anggur dan memakannya sampai puas dan
kenyang.
Ia kembali
ke pantai, seperti kemarin. Ia menyusuri pantai dan membersihkannya.
“Tuhan aku
bekerja kepada-Mu. Aku lebih percaya kepada-Mu,” katanya.
Ia
membersihkan pantai dan mengumpulkan benda-benda itu lalu dikatnya. Ia kemudian
tertidur ketika matahari sudah bergeser sedikit ke barat. Dengan menutupkan
surban ke mukanya, ia tidur nyenyak. Ia bangun saat matahari sudah menjelang ke
peraduan.
“Terima
kasih ya Allah. Engkau telah menidurkanku,” katanya.
Dalam
langkah pulang terbayang hutang yang bertambah. Esok harus mencari pekerjaan
baru di luar desa karena tak ada lagi musim anggur.
Sebelum
pulang ia bersujud. “Tuhan, Engkau ciptakan aku dan keluargaku dengan
perencanaan-Mu yang terbaik. Aku percaya Engkau tak akan menerlantarkan aku dan
keluargaku. Demi Engkau yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Engkau Maha
Penentu Makhkluk-Mu. Aku serahkan diriku dna keluargaku kepada-Mu.”
Anggur Merah
Dari jauh ia
melihat hal aneh. Rumahnya terang benderang yang selama ini tak terjangkau
untuk membeli minyak. Ia dengar suara anak-anak yang gembira dan menyebut
rupa-rupa makanan. Ada apa gerangan?
Ketika ia
membuka pintu, anak-anak dan istrinya mengambur memeluknya.
“Terima
kasih ayah.”
“Terima
kasih suamiku.”
“Ada apa?”
Abnar belum mengerti.
“Tadi siang,
seseorang datang mengenakan baju sangat bagus dan naik kuda yang sangat bagus.
Ia memberi pundi-pundi sebanyak satu Talenta.” Setara dengan 6000 dinar.
“Maksudmu?”
Ia mencoba menikmati anggur merah yang segar.
“Ia
memberikan gajimu selama tiga hari. Katanya, pekerjanmu bagus dan ia minta engaku
meneruskan pekerjan itu. Bahkan ia akan menambah upahnya jika pekerjaanmu
semakin bagus.”
“iya.”
“Tadi satu
dinar aku belanjakan ini semua dan bayar hutang. Pedagang bingung melihat mata
uang kita yang aneh. “Katanya, ini bukan uang dunia. Ini uang surga.”
Dikutip dari
kisah Wahb bin Munabbih dalam ‘Uyunul Hikayat’ karya Imam Ibnu Jawzi pada halaman
172-173, kisah ke 156 dengan judul Attijarah Ma’allah, terbitan Darul Kutub
Islamiyah, Beirut, cetakan tahun 1971. (Musthafa Helmy)