Tausiah: Indahnya Sebuah Kejujuran
Sejak pertengahan bulan Syawal warga Mekah sudah mulai menyambut kedatangan jemaah haji dari seluruh dunia. Bahkan, ada juga sebagian jem...

http://www.keretawaktu.com/2018/03/tausiah-indahnya-sebuah-kejujuran.html

Jemaah
haji berdatangan melalui darat dan laut. Dari laut sebagian ditempuh
jemaah haji asal Mesir, Sudan, Etiopia dan berikutnya dari wilayah
timur, antara lain India, Pakistan dan Asia Tengara. Jemaah darat dari
hampir semua penjuru negara Islam di luar benerapa negara itu. Sebagian
jemaah Mesir juga melalui darat sebelum terusan Suez dibangun.
Warga
Mekah mulai menyambut jemaah haji sejak bulan Syawwal. Mereka
menyiapkan kamar-kamar untuk disewakan kepada jemaah haji. Mereka mulai
membangun dan memperbaiki tempat penampungan air. Pemerintah Mekah juga
mulai melakukan persiapan yang diperlukan.
Haji
memang salah satu bisnis warga Mekah yang dari sana mereka bisa
memperoleh penghasilan untuk hidup mewah setahun. Jumlah jemaah haji tak
pernah kurang dari 500.000 yang memanfaatkan akomodasi dari warga
Mekah. Karena itu pembangun rumah di Mekah sangat subur. Para penguasa
Islam membangun istana dan vila di Mekah dan Mina untuk tujuan haji.
Para pengusaha membangun untuk tujuan bisnisi. Mekah menjadi daerah yang
mahal.
Jemaah
haji ditampung oleh penduduk Mekah dan sebagian ditampung oleh warga
Mekah yang berasal dari negara yang sama. Para pemilik rumah itu disebut
sebagai syaikh. Jemaah Irak sebagian akan tinggal di rumah milik Syaikh
Sami Al-Iraqi. Jemaah haji asal Yaman akan tingal sbagain di rumah
milik Syaikh Khalid Al-Yamani. Jemaah Mesir sebagian akan tingal selama
musim haji di rumah Syaikh Hamid Al-Misri. Jemaah Suriah sebagian akan
tinggal di rumah Syaikh Ali Ad-Dimisqi. Jemaah Iran sebagian akan
tinggal di rumah Syaikh Bahauddin Al-Farisi.
Di
antara para syaikh ini, syaikh paling banyak memiliki pondokan adalah
Syaikh Sami Al-Iraqi. Pemondokannya ada di Jarwal, Qararah, Rawdlah,
Hujun dan Maabdah. Ada beberapa tempat lagi di Tandabawi yang dikelola
adiknya, Syaikh Said Al-Iraqi dan Syaikh Subhi Al-Iraqi.
Setiap
tahun Syaikh Sami selalu menambah bangunan dari keuntungan menyewakan
pemondokan itu. Jemaah setiap tahun selalu meningkat. Syaikh Sam tinggal
di Sulaimaniyah, dekat pemakaman Ma’la. Rumah yang cukup luas dengan
halaman yang banyak ditanami pepohonan. Menjelang musim haji ini Syaikh
Sami terlihat sangat sibuk mengontrol pemondokannya yang mampu
menampung sekitar 30.000 jemaah.
Siang
itu ia hampir dikejutkan dengan kehadiran Barad, karyawannya. Barad
datang secara mengejutkan karena terburu-buru. Ia membawa seorang
temannya yang berasal dari Yaman yang bernama Syarif.
“Maaf
tuan jika mengagetkan. Saya baru pulang memeriksa rumah di Jarwal dan
Qararah. Ada beberapa kerusakan dan sudah saya pebaiki. Ini kawan saya,
Syarif, dia yang membantu saya tadi. Apakah Tuan Sami bersedia mengambil
dia sebagai karyawan musim haji saja.”
Sami
melihat selidik atas Syarif. Laki-laki yang baru bersia 24 tahun ini
terkesan gesit, teliti dan pekerja keras. Kulitnya hitam menandakan ia
sering berpanas-panasan.
“Dia baru menikah dua bulan yang lalu dengan wanita Suriah,” kata Barad.
“Mabruk,” kata Syaikh Sami acuh tak acuh.
“Kau bisa baca tulis?” tanyanya kepada Syarif.
“Tentu tuanku.”
“Menghitung?”
“Tentu tuanku.”
“Baiklah
kau kuterima sebagai pegawai selama musim haji ini dan upahmu selama
satu musim itu adalah 10 dinar. Cukup banyak belum lagi ada tambahan
jika kau bekerja bagus dan jemaah yang kutampung lebih banyak.”
“Terima kasih tuanku.”
Syarif memeluk Barad yang berjasa telah menghubungkannya dengan Syaikh Sami. “Terima kaish saudaraku,” katanya.
“Mulai besok kau sudah harus masuk kerja di rumah Syaikh Sami di Sulaimaniyah,” kata Barad sambil menepuk bahu Syarif.
“Baik.”
Sore
itu ia mengabarkan kepafa istrinya tentang pekerjaan yang diperolehnya.
“Nanti kita tak akan kakurangan lagi dan tak akan merepotkan orangtua
lagi,” kata Syarif.
Istrinya,
Suada begitu berseri wajahnya. Ia menciumi suaminya, gembira. Dengan
uang itu setidaknya ia bisa membiayai hidup pas-pasan selama lima bulan.
Sisanya mereka akan peroleh dari kerja apa saja. Sangat mungkin Syaikh
Sami akan mempekerjakannya seperti ia mempekerjakan Barad yang sudah
bertahun-tahun.
Barad
adalah teman main Syarif ketika masih tinggal di Rabigh. Mereka berdua
mengaji pada guru yang sama di Rabigh. Ketika remaja mereka mengadu
nasib di Mekah. Mujur Barad dapat pekerjaan lebih dulu, tapi, dia belum
menikah. Sementara Syarif tak pernah mendapat pekerjaan layak. Ia
dipercaya orang untuk mengantar barang. Sehingga dari sana ia dapat
upah. Pernah ia dapat upah hingga satu dinar dari mengantar perhiasan
emas milik seorang pangeran dari Mesir.
Hari Pertama
Hari
pertama membahagiakan Syarif. Ia mendapat tugas mencatat dan pembukuan.
Tulisan Syarf yang bagus membuat Syaikh Sami cocok. Sore harinya, Barad
mengabarkan bahwa jemaah Irak sudah akan masuk Mekah.
“Syarif sambutmereka. Aku mendengar kabar mereka sudah di Dzatu Irq dua hari lalu.”
Dzatu
Irq berjarak 94 kilometer dari Mkah dan menjadi miqat makani warga irak
seperti ditetapkan Khalifah Umar. Jemaah yang akan datang, menurut
kabar berasal dari Kufah dn Basrah. Kufah berjarak 900 mil dari Mekah
dan Bashrah berharak 797 mil. Jemaah haji Irak terkenal kaya dan meminta
pelayanan istimewa. Mereka tak mau tidur di atas karpet. Mereka meminta
lihab, kasur tipis dan bantal. Makannya juga agak pilih-pilih dan minta
dilayani khusus. Tentu, mereka bayar mahal untuk itu semua.
Syarif
menyambutnya di Tan’im. Mereka memasang tenda seadanya untuk istirahat
beberapa hari sebelummasuk Mekah. Air di Tan’im sangat bagus sehingga
jemaah haji betah tinggal di sini. Banyak pohon korma.
Syaikh
Sami ikut menyambut mereka. Syaikh membawa makanan dan dihidangkan
kepada para tamu. Ada 8.204 jemaah dari Kufah dan Bashrah. Setiap jemaah
menaiki seekor unta dan setiap keluaga membawa bekal dalam beberapa
ekor unta. Mereka juga membawa binatang untuk dam dan kurban di Mekah.
Syaikh
Sami membagi jemaah Irak ini dalam tiga tempat. Syarif mendapat tempat
di Jarwal. Ia melayani pengadaan air dan makanan. Syarif mengerahkan
beberapa orang Yaman untuk bekerja musiman di rumah Syaikh Sami.
Syarif
juga mengantar mereka berziarah ke Gua Tsur, Gua Hira, rumah kediaman
Rasulullah bersama Khadijah, tempat kelahiran Nabi yang sudah tinggal
puing-puing serta peninggalan suci lainnya. Syarif mampu menjelaskan
sejarah masing-masing tempoat itu dan mengajak mereka berdoa. Mereka
senang pelayanan Syarif.
Sebuah Ujian
Setelah
mengantar jemaah haji berziarah, Syarif beristirahat sejenak di luar
Masjidil Haram. Tiba-tiba matanya menatap sebuah kantung. Ia
mengambilnya dan membawanya pulang. Ia terperanjat karena di dalam
kantung itu terdapat kepingan uang emas sebanyak 1.000 dinar. Ia hampir
pingsan melihat sejumlah uang emas sebanyak itu.
Ketika sampai di rumah ia kabarkan temuan itu. Sang istri kaget dan tak disangkanya jika sang istri menolak menerimanya.
“Aki tidak mau uang itu dan harus engkau kembalikan kepada yang punya.”
“Aku tidak mencurinya. Aku menemukannya dan aku tahu siapa yang punya,” jawabnya.
“Bawalah kembali ke Majsidil Haram, siapa tahu ada yang mencarinya. Atau kau serahkan kepada pejabatdan pengurus masjid.”
Maka,
pada malam itu juga Syarif kembali menuju Masjidil Haram. Suasana
Masjidil Haram sangat ramai di musim haji dan lampu-lampu minyak
menerangi mereka. Tak disangka ada kerumunan. Ia lihat jemaah haji asal
Irak yang dilayaninya. Ia berpidato.
“Wahai
saudara-sauaraku, kami mendapat musibah. Uang kami sebanyak 1.000 dinar
hilang tertinggal di sudut masjid. Tentu ada yang menemukan. Saya
berharap sekali siapa yang menemukan uang saya itu saya akan sangat
berterikma masih.”
Mendengar pengumuman itu Syarif langsung angkat angan.
“Tuanku,
akulah yang menemukan uang iu saat sore tadi di sudut itu,” ia menunjuk
sebuah arah. “Mudah-mudahan apa yang saya temukan itu adalah yang tuan
cari,” kata Syarif sambil menyerahkan.
Lakilaki itu gembira ketika melihat kantung uang itu.
“Benar itu milikku. Terima kasih banyak,” katanya sambil memeluk Syarif.
“Itu
sudah kewajiban saya untuk menyelamatkan. Jika tuan tidak jumpa di sini
maka akan kami bawa ke pengurus masjid agar diumumkan,” kata Sarif.
Syarif lalu digendongnya. “Selamat anak muda. Engkau akan mendapatkan tabahan 9.000 dinar lagi.”
“Ah mana mungkin, Tuan meledek saya.”
“Tidak,
anak muda,” kata laki-laki itu. ”Kami dapat amanat dari warga Irak yang
tak bisa berhaji tahun ini agar menyedekahkan uang 10.000 dinar dengan
meletakkan uang 1.000 dinar di pinggir masjid. Jika orang itu kemudian
jujur dan mengembalikan maka berikan sisanya sehingga menjadi 10.000
dinar.”
“Mengapa begitu?” tanya Syarif.
“Seorang yang jujur harus dihargai. Bersedekah kepada orang jujur pasti diterima oleh Allah.”
Dikutip
dan dikembangkan dari kitab Bahjatul Wasail (bedasar kisah dalam kitab
Nuzhatul Majalis) karya Syaikh Nawawi Banten, terbitan Musthafa Albabi
Al-Halabi, Mesir, tahun 1349 H (1930 M) pada halaman 37. (Musthafa
Helmy)