Mengapa Tunisia Bergolak Kembali
Masih terbesit dalam ingatan kita pada tahun 2011 lalu, ketika negara-negara Timur Tengah dilanda gelombang revolusi yang terjadi di be...

http://www.keretawaktu.com/2018/03/mengapa-tunisia-bergolak-kembali.html
Masih
terbesit dalam ingatan kita pada tahun 2011 lalu, ketika negara-negara
Timur Tengah dilanda gelombang revolusi yang terjadi di berbagai negara,
dimulai dari Tunisia, lalu merembet ke Mesir, Bahrain, Yaman dan
Suriah. Revolusi tersebut kemudian dinamakan dengan revolusi “Arab
Spring” dengan tujuan menggulingkan rezim-rezim diktator yang berkuasa
di negara-negara Timteng.
Beberapa
revolusi berhasil menggulingkan beberapa rezim diktator, seperti Zine
El Abidin Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir dan Ali Abdullah
Saleh di Yaman. Satu revolusi gagal, yaitu di Bahrain. Pangeran
Hamad bin Isa Al-Khalifa berhasil memukul mundur para demonstran dengan
bantuan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Adapun satu revolusi masih
terus berlangsung hingga hari ini, yaitu di Suriah. Revolusi Suriah
kemudian berkembang menjadi konflik bersenjata antara pasukan rezim
pemerintah Bashar Al-Assad dengan pasukan oposisi, yang hingga hari ini
juga, masih belum ada tanda, kapan konflik berakhir.
Namun
di awal tahun 2018, aksi protes kembali terjadi di Tunisia. Aksi protes
terjadi di sepuluh wilayah yang berbeda di Tunisia, dimana menurut Juru
Bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, Khelifa Chibbani, aksi protes
bermula dari sekelompok pemuda yang melakukan aksi protes pada malam
hari tanggal 9 Januari 2018. Aksi protes itu dilakukan dengan kekerasan. Melempar batu, memblokir jalan, menjarah toko-toko serta merusak mobil polisi dan menyerang aparat-aparat pemerintah.
Maraknya
aksi protes ini terjadi karena kenaikan harga kebutuhan pokok dan pajak
yang diterapkan pemerintah untuk menutup defisit anggaran pemerintah
serta memenuhi permintaan lembaga internasional yang memberikan pinjaman
kepada Tunisia. Meski begitu,
akar masalah dari meningkatnya aksi protes ini adalah tidak adanya
perbaikan ekonomi. Maraknya pengangguran dan kebijakan austerity yang
diterapkan oleh pemerintah Tunisia menyebabkan kondisi ekonomi di
Tunisia memburuk. Harga Pangan yang meningkat 8 persen setiap tahunnya
sejak tahun 2011 dan inflasi membuat warga Tunisia depresi dan
berbondong-bondong turun ke jalan untuk memprotes pemerintah.
Tuntutan perbaikan ekonomi pun disuarakan oleh mayoritas rakyat Tunisia yang melakukan protes di jalan. Salah satunya adalah kelompok Fesh Nestannew (Apa Lagi yang kita Tunggu) yang merupakan kelompok utama dalam aksi protes. Mereka menuntut dikembalikannya spirit dari revolusi 2011, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka menuntut dibukanya lapangan pekerjaan, kebebasan dan harga diri nasional.
PROTES YANG MENGEJUTKAN
Maraknya aksi protes yang terjadi di Tunisia ini sebenarnya cukup mengejutkan publik internasional. Pasalnya
Tunisia selama ini dianggap sebagai contoh sukses transisi dari negara
otoriter ke arah demokrasi pasca-revolusi. Berbeda dengan negara-negara
lainnya seperti Mesir, yang kembali dilanda revolusi dua tahun
pasca-revolusi untuk menurunkan presiden Mesir, Mohammed Mursy atau
Yaman yang justru terjebak dalam konflik internal dengan pemberontak
Houthi. Di Tunisia, transisi politik berjalan secara demokratis dan
lancar.
Pada pemilu pertama, kelompok Islamis Ennahda dan koalisinya berhasil memenangkan pemilihan umum yang berlangsung demokratis. Ketika
Ennahda memenangi pemilu, banyak kekhawatiran bahwa Ennahda berniat
untuk menciptakan kebijakan-kebijakan konservatif terkait Syariat Islam
di negara tersebut. Namun pada akhirnya, hal tersebut tidak terbukti.
Kelompok Ennahda ternyata merangkul kubu sekuler dan nasionalis untuk
menciptakan Tunisia yang aman dan stabil pasca revolusi.
Pada pemilihan kedua tahun 2014, kelompok Ennahda dikalahkan kelompok Nidaa Tounes yang sekuler. Kekalahan
kelompok petahana tersebut diterima dengan lapang dada dan peralihan
kekuasaan berlangsung dengan damai. situasi ini kemudian membuat Tunisia
menjadi negara yang stabil dan aman. Hal
inilah yang kemudian membuat empat kelompok demokrasi di Tunisia:
Persatuan Serikat Buruh Nasional, Konfederasi Industri dan Perdagangan
Tunisia, Liga HAM Tunisia dan Kelompok Pengacara Tunisia atau lebih
dikenal dengan National League Dialogue (NLD) meraih hadiah nobel
perdamaian tahun 2015 karena keberhasilan mereka menjaga transisi damai
di negara tersebut.
Selain
keberhasilan meraih hadiah nobel, Tunisia juga masuk dalam 10 besar
negara yang layak dijadikan tempat untuk memulai bisnis Start-up oleh
majalah Forbes pada tahun 2015. Pasca-revolusi, Tunisia juga berubah
menjadi negara yang terbuka dan berbagai isu yang sebelumnya tabu
dibicarakan di publik seperti aborsi, kebebasan berekspresi dalam seni
dan hak-hak perempuan mulai bisa diwacanakan ke publik, dimana salah
satunya adalah rally yang dilakukan ribuan wanita tahun 2012 menuntut
emansipasi perempuan diberlakukan di Tunisia.
Karena
itu aksi protes yang terjadi di Tunisia baru-baru ini dianggap cukup
mengejutkan oleh publik di luar Tunisia. Kendati jika menilik situasi
ekonomi di Tunisia pasca-revolusi, hal tersebut tidaklah mengherankan. Terjadinya
revolusi di Tunisia pada tahun 2011 dilandasi oleh tingginya angka
pengangguran di negara tersebut dan muaknya rakyat Tunisia atas korupsi
yang mengakar di tubuh pemerintah.
Namun hari ini, setelah Sembilan Rezim pemerintahan silih berganti, kondisi ekonomi masih tetap sama. Pada
tahun 2016 sendiri, tingkat pengangguran Tunisia tercatat mencapai 15,6
Persen, meningkat dari tahun 2016 sebanyak 15,2 persen. Harga pangan
yang meningkat tiap tahun dan inflasi membuat situasi ekonomi di Tunisia
kian sulit. Pada
tahun 2015 pemerintah Tunisia mendapatkan bantuan pinjaman sebesar 2,8
Milyar Dollar AS dari sejumlah lembaga donor internasional untuk
memperbaiki ekonomi mereka. Namun,
pinjaman tersebut pada akhirnya harus dibayar dengan sejumlah kebijakan
yang harus diterapkan oleh pemerintah Tunisia, yang diwajibkan oleh
kelompok pendonor untuk mendapatkan pinjaman yaitu pemotongan gaji
pegawai negeri dan program austerity yang lebih luas dengan menaikkan
pajak.
Hal
tersebut menjadi semakin memburuk, setelah pada bulan Desember 2017
lalu, IMF meminta pemerintah Tunisia untuk mengambil langkah darurat dan
tindakan yang tepat dalam mengurangi defisit, yang berarti penerapan
program austerity lebih jauh yang diterapkan dalam 2018 Financial Law.
Situasi ini pada akhirnya memicu protes besar-besaran dari rakyat, yang
semakin tersiksa dengan kebijakan austerity tersebut.
LANGKAH PEMERINTAH TUNISIA
Saat
ini, pemerintah Tunisia dihadapkan pada situasi yang sulit. mereka
harus memastikan kebijakan mereka ambil tidak membuat kehidupan warga
Tunisia semakin sulit karena program austerity, seperti yang terjadi di
Yunani dan Portugal pada tahun 2011. Namun
di sisi lain, mereka tidak bisa berbuat banyak karena Tunisia masih
mengandalkan pinjaman lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF
untuk dapat bertahan.
Kita tahu bahwa resep ekonomi IMF biasanya tidak pernah bisa berjalan dengan baik dan justru membuat kondisi ekonomi di negara itu kian memburuk. Apa
yang terjadi di Amerika Latin tahun 1980-an, Turki, Yunani dan
Indonesia di tahun 1998 menunjukkan bahwa resep ekonomi dari IMF tidak
akan pernah berhasil. Karena
itu ada baiknya, pemerintah Tunisia mulai mendengarkan saran dari
rakyat mereka terkait kebijakan ekonomi dengan meninggalkan IMF dan
mencari pendonor di luar IMF serta menggenjot kembali perekonomian
mereka untuk memperbaiki situasi di negara tersebut. (Kharizma Ahmada)