Mahaguru Ulama asal Semarang

Masjid Kiai Soleh Darat Haul KH Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani atau Kiai Soleh Darat yang ke 117 tahun ini insya Allah akan disele...

Masjid Kiai Soleh Darat
Haul KH Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani atau Kiai Soleh Darat yang ke 117 tahun ini insya Allah akan diselengarakan pada 10 Syawwal 1438 Hijriah atau jatuh pada hari Rabu, 5 Juli 2017. Acara dimulai sejak pagi pukul 07.00 di pemakaman umum Bergota, Semarang. Acara pagi hanya pembacaan surah yasin dan tahlil.

Sementara malam hari, diselengarakan pengajian akbar dan istghasah di Masjid Kiai Soleh di Jalan Kakap Darat Tirto Nomor 212 Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Tepatnya, belakang Stasiun Poncol. Tahun lalu, tausiah disampaikan KH Munif Zuhri dari Girikusumo. 
Haul Kiai Soleh Darat selalu dihadiri ribuan masyarakat dari mana-mana. Pemakaman Bergota berubah menjadi putih karena kedatangan Jemaah haul. Begitu juga suasana di Masjid Kiai Soleh yang sudah dijadwal kalangan muhibbin untuk dihadiri bersama haul-haul ulama dan habaib lainnya.
Ada kesimpansiuran tentang di mana makam Kiai Soleh. Namun, jemaah dan keluarga Kiai Soleh  meyakini bahwa makam ulama besar itu masih berada di komplek masjid. Selama ini, ulama besar itu dikenal dimakamkan di komplek Taman Permakaman Umum Bergota Semarang, setelah dipindahkan Belanda.
Menurut cicit Kiai Soleh Darat, Kiai Lukman Hakim Saktiawan, makam keluarganya masih berada di area tempat mengajar bersama tokoh perjuangan saat itu. "Kami masih yakin makam Mbah Soleh berada di kompleks masjid ini. Bukan di TPU Bergota. Ini dibuktikan dengan banyaknya jemaah yang kerap berziarah di sini," katanya.
Menurut sejarahnya, masjid yang berada di Jalan Kakap Nomer 212 Semarang itu pada zaman Belanda kerap dijadikan tempat berkumpul para pejuang sehinga menjadi kekhawatiran penjajah. Belanda akhirnya memindah makam Mbah Soleh ke TPU Bergota.
"Pemindahan makam Mbah Soleh dulu politis. Konon, yang dipindah itu bukan jasad Mbah Soleh, tapi kain kafannya. Jadi, makamnya masih di sekitar sini," katanya. Berdasar keterangan para peziarah, akhirnya Kiai Lukman menandai salah satu lokasi di komplek halaman masjid itu sebagai makam Mbah Soleh untuk berdoa para peziarah. "Biasanya peziarah yang datang selalu berada di satu titik lokasi. Akhirnya, saya tandai untuk memudahkan," kata Kiai Lukman.
Tapi, untuk menghormati keyakinan bahwa makam Mbah Soleh sudah dipindahkan ke Bergota, atas inisiatif murid-muridnya sejak tagun 1936, maka haul pagi dilaksanakan di sana. Sejak 2011 diselenggarakan istighasah dan pengajian akbar malam hari di masjid Kiai Soleh. 
Kiai Lukman berharap komplek Masjid Kiai Soleh itu nantinya bisa dibangun museum Mbah Soleh Darat yang menghimpun peninggalan Kiai Soleh, termasuk karya-karyanya yang baru dihimpun sebanyak 40 buah. "Peninggalan beliau masih tersebar. Bahkan yang terbanyak justru di Singapura," ujar Kiai Lukman.

Ulama Besar
Ayah Mbah Soleh bernama Kiai Umar. Ia merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Syada’ dan Kiai Murtadha Semarang. Kiai Saleh dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan informasi lainnya menyatakan bahwa, Kiai Soleh Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Ia wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.
Ia disebut Kiai Saleh Darat karena ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat.
Sebagai seorang putra Kiai yang dekat dengan Pangeran Diponegoro, Kiai Soleh mendapat banyak kesempatan berkenalan dengan teman-teman orang tuanya, yang juga merupakan kiai terpandang. Inilah kesempatan utama Kiai Soleh dalam membuat jaringan dengan ulama senior di masanya, sehingga ketokohannya diakui banyak orang.
Di antaranya, Kiai Hasan Bashari (putra Kiai Nur Iman Mlangi) ajudan Pangeran Diponegoro. Salah seorang cucu Kiai Hasan Bashari, Kiai Moenawir mendirikan pesanten Krapyak Yogyakarta adalah murid Kiai Soleh Darat.
Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua orang prajurit Pangeran Diponegoro. Kiai Murtadha, teman seperjuangan Kiai Umar ketika melawan Belanda. Shafiyyah, puteri Kiai Murtadha kemudian disunting Kiai Soleh setelah pulang dari Mekah.
Kiai Jamasari, prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Solo dan pendiri Pondok pesantren Jamsaren, Surakarta. Ketika Kiai Jamsari ditangkap Belanda, pesantrennya dihidupkan kembali oleh Kiai Idris, salah seorang santri senior Kiai Soleh Darat. Dialah yang menggantikan Kiai Soleh Darat selama ia sakit hingga wafatnya.
Selama hayatnya, Kiai Soleh pernah menikah tiga kali. Perkawinannya yang pertama ketika ia masih berada di Mekah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinanya pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Mbah Soleh pulang ke Jawa, istrinya tidak ikut serta. Untuk mengenang Ibrahim, Kiai Soleh menggunakan nama laqab Abu Ibrahim dalam kitab tafsir Faidh al-Rahman.
Perkawinannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri Kiai Murtadha setelah ia kembali di Semarang. Dari pekawinan ini, ia dikarunia dua orang putera, Yahya dan Khalil. Dari kedua putra ini telah lahir beberapa keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. 
Sedangkan perkawinannya yang ketiga dengan Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari perkawinannya ini lahir  Siti Zahrah yang dinikahkan dengan Kiai Dahlan Tremas, Pacitan dan memiliki dua orang anak.

Guru-gurunya
Tercatat sebagai guru Kiai Soleh antara lain      KH. M. Syahid yang tinggal di Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). Kiai Soleh belajar beberapa kitab fiqih termasuk Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Minhajul Qawwim, dan lain-lain.
Kemudian belajar kepada Kiai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus, untuk kajian tafsir.     Kiai Ishak Damaran, Semarang, ia belajar Nahwu dan Sharaf. Kepada Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang, ia belajar ilmu falak. Kepada Habib Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang, ia belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali. Ulama lainnya antara lain Syekh Abdul Ghani Bima (Semarang) dan Mbah Ahmad Alim Bulus Gebang (Purworejo).

Menuju Mekkah
Ingin belajar lebih jauh, Kiai Soleh bersama ayahnya berangkat ke Mekah. Ayahnya wafat di Mekah. Kiai Soleh kemudian menetap di Mekah beberapa tahun. Selama di Mekah, Kiai Soleh berguru kepada banyak ulama. 
Yang menonjol adalah Syaikh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Mekah, Al-‘Allamah Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, Syaikkh Umar a-Syami,Syaikh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri, dan Syaikh Jamal, seoang Muftti Madzab Hanafiyyah di Mekah. Dari ulama-ulama ini Kiai Soleh mendapat sanad kitab-kitab yang menyambung kepada pengarangnya. 
Semasa belajar di Mekah, Kiai Soleh banyak bergaul dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya antara lain Syaikh Nawawi Banten, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabau (wafat di Mekah 1916). Kiai Mahfuzh at-Tirmasi yang wafat tahun 1918. Kiai Khalil Bangkalan, Madura yang wafat tahun 1923.
Kiai Soleh kemudian dipilih menjadi salah seorang pengajar di Mekkah. Di sinilah Kiai Soleh bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Ia merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan Kiai Soleh ke Semarang. Mbah Hadi mengajak Kiai Soleh pulang bersama-sama mengembangkan Islam melalui ilmu pengethuan.
Namun karena sudah diikat oleh penguasa Mekah untuk mengajar di Mekah, ia menolak pulang. Tapi, Mbah Hadi nekat. Kiai Soleh diculik. Ia dimasukkan dalam peti bersama barang bawaan. Namun di tengah jalan ketahuan. Saat kapal merapat di Singapura, Mbah Hadi ditangkap dan harus bayar denda yang dibayarkan pera muridnya. 
Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo dan Kiai Soleh menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam. Sayang sekali, sepeninggalan Kiai Soleh, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan. Tersisa sebuah masjid yang masih digunakan.
Menurut Dr. Nur Kholis Madjid, seorang cendikiawan muslim Indonesia, Kiai Soleh sangat kuat mendukung paham teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyah. Pembelaannya pada paham ini jelas kelihatan dalam bukunya Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar al-Tauhid. Di sini ia mengemukakan penafsirannya tentang sabda Nabi SAW bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat, yaitu mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW, yakni melaksanakan akaid, pokok-pokok kepercayaan ahlus sunnah wajama’ah, Asy’ariyah dan Maturidiyah yang menjadi faham Islam Nusantara.

Karir di Jawa
Mengajar pertama di pesantren di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kiai Ahmad (Muhammad) Alim dan kedua puteranya: Kiai Muhammad Alim dan Kiai Zain al Alim. Kedudukan Kiai Soleh Darat hanya  sebagai pengajar, membantu Kiai Zain.
Sejarah kemudian mencatat bahwa pada sekitar tahun 1870-an, Kiai Soleh mendirikan sebuah pesantren baru di Darat, Semarang. Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya, Al-Hikam, Yang ditulis rampung dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula Kiai Soleh pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.
Selama mengasuh pesanten, Kiai Soleh dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena faktor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggal Kiai Soleh pada tahun 1903 M. Salah seorang santri seniornya, Kiai Idris dari Solo memboyong sejumlah santri dari sini setelah Kiai Soleh wafat. Kiai Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali pondok pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh Kiai Jamsari.

Santri-santrinya
Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah), Kiai R. Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H), Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat, Kiai Idris (nama aslinya Slamet) Solo, Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang (penulis buku ‘Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya’ sebuah koreksi salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Soleh Darat. Kemudian, Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli kauman Semarang; Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang (kakek KH Mustofa Bisri/Gus Mus); Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta; KH. Dahlan Watucongol Muntilan Magelang, Kiai Yasin Rembang; dan termasuk RA Kartini Jepara.
Tak elok rasanya jika tak menyebut peran Kiai Soleh dalam pemikiran keagamaan Kartini. Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis; "Al-Quran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya".
Kartini dalam curhat-nya bertanggal 15 Agustus 1902 menyatakan: “Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya".
Kartini akhirnya terpukau dengan ceramah yang disampaikan Mbah Soleh pada sebuah acara di pendopo Kabupaten Demak. Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat adalah paman Kartini.
Mbah Soleh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Mbah Soleh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ia seolah mendapatkan sesuatu yang baru.
Usai acara, Kartini mendesak pamannya untuk menemani menemui Mbah Soleh Darat. Berikut dialog Kartini dengan Kiai Soleh.
“Romoyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukum seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya?”
Kiai Soleh tertegun. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kiai Sholeh balik bertanya.
“Romoyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kiai Soleh semakin tertegun. “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Soleh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Quran dalam Bahasa Jawa. Setelah pertemuan itu, Kiai Soleh langsung menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.
Al-Quran yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al-Fatihah sampai Surah Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kiai Soleh wafat.
Kiai Soleh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban".
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.”
Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang menerjemahkan Al-Quran. Sebagian ulama waktu itu juga ada yang mengharamkan. Tapi, Mbah Soleh menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini dan panggilan berdakwah, Kiai Soleh menerjemahkan Al-Quran dengan huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim. Dari sinilah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romoyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Kartini juga menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumati ilan Nur). Inilah yang kemudian menjadi judul bukunya yang diterjemahkan Armijn Pane. (MH)

Baca Juga:

Agama Islam 7358394032326560152

Posting Komentar

emo-but-icon

Video Berita Haji

Populer

Terbaru

Iklan

item