Haji Cukup Sekali dan Yang Sakit Ditunda
Berbagai cara dilakukan Pemerintah bagaimana bisa mengatasi pendaftar haji yang sudah mencapai 2 juta lebih. Haji berulang belum bisa dil...

http://www.keretawaktu.com/2015/03/haji-cukup-sekali-dan-yang-sakit-ditunda.html
Berbagai
cara dilakukan Pemerintah bagaimana bisa mengatasi pendaftar haji
yang sudah mencapai 2 juta lebih. Haji berulang belum bisa dilarang
dengan tegas karena muncul penolakan. Begitu juga usia dan penyakit
tertentu yang secara medis tak boleh berhaji karena akan merepotkan
orang lain, belum bisa diputuskan.
Kini,
apa boleh buat. Meski MUI pernah mengeluarkan fatwa tahun 1983 bahwa
haji yang wajib itu hanya sekali dan selebihnya sunnah belaka yang
pahalanya jauh di bawah amal sosial semacam menyantuni anak yatim
atau membangun sekolah. Tapi, fatwa ini seolah tak jalan. Haji dan
umrah ada nilai sendiri: kerinduan hati ke tanah suci dan juga unsur
travelling dan leisure. Makanya, haji dan umrah tak bisa dibendung.
Meski penipuan juga berkali-kali terjadi dengan berbagai modus.
Kali
ini Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU)
menyelenggarakan Muzakarah Perhajian selama tiga hari di akhir bilan
Februari, di Asrama Haji Pondok Gede. Tema yang diangkat, “Istita’ah
Kesehatan dan Haji Berulang-ulang.”
Menurut
Dirjen PHU Abdul Djamil, muzakarah ini menjadi bagian dari upaya
Kemenag untuk terus mencari solusi atas persoalan antrian haji yang
semakin panjang. Menurutnya, antrian haji saat ini mencapai 20 tahun
di Kalimantan Selatan, dan yang terpendek sudah mencapai 9 tahun di
Sulawesi Utara. “Itu akan meningkat terus. Karena mereka-mereka
yang mendaftar itu masih campur dengan mereka yang sudah pernah
berhaji dan mendaftar lagi,” tegas Abdul Djamil. “Ada yang
berpandangan haji berulang-ulang itu kebanggaan, padahal haji itu
wajibnya hanya sekali,” tambahnya.
Selain
soal haji berulang, muzakarah juga membahas definisi istita’ah
(mampu). Selama ini, kata Djamil, pengertian istita’ah lebih diukur
dari segi kemampuan finansial dan kemampuan materil. Hal itu
menyangkut kemampuan seseorang untuk menyediakan ongkos naik haji dan
biaya untuk keluarga yang ditinggalkan. “Apakah hanya seperti itu
yang namanya istita’ah? Bagaimana dengan orang yang dari aspek
kesehatan sudah tidak mampu?” Pertanyaan Djamil mengusik. Muzakarah
membahas persoalan ini dari berbagai aspek, mulai aspek hukum, aspek
kesehatan, dan administratif. “Jadi orang seperti apa yang
direkomendasikan untuk lebih baik tidak berangkat,” jelasnya.
“Hasil muzakarah ini akan dijadikan pijakan untuk menentukan
kebijakan seberapa jauh direkomendasikan seseorang untuk berangkat
atau sebaliknya.”
Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin berjanji menjadikan hasil mudzakarah ini
sebagai dasar dalam mengambil kebijakan. “Harapan saya, utamanya
mengenai istitha’ah atau kemampuan kesehatan calon jemaah haji dan
haji berulang-ulang sudah ada rumusan,” kata Lukman. “Apapun
putusannya, Kemenag akan menjadikan sebagai landasan untuk melahirkan
atau menerapkan kebijakan demi kemaslahatan kita bersama,”
tegasnya.
Mudzakarah
diikuti sekitar 100 ulama: perwakilan MUI, ormas Islam, Kabid Haji
Kanwil se-Indonesia, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Kelompok
Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), Asosiasi Penyelenggara Haji, dan
undangan lainnya.
Menag
mengingatkan, haji merupakan ibadah fisik sehingga kesehatan calon
jamaah haji sangat dibutuhkan. Diakui Lukman, saat ini banyak jemaah
haji yang secara fisik tidak fit 100%, tapi belum ada rumusan yang
menjadi kesepakatan bersama. Apakah jemaah yang mempunyai risiko
tinggi (risti) ini diperbolehkan tetap menunaikan ibadah haji atau
ditunda hingga dua kali musim haji seraya menunggu kesiapan fisiknya.
Tahun
lalu, jemaah haji Indonesia yang risti mencapai 54,7% (83.730
jemaah). Risti ini ada dua macam, yakni yang usianya di atas 60 tahun
dan yang mempunyai penyakit menular tertentu yang jika dipaksakan,
sangat dikhawatirkan mengancam keselamatan jemaah. Data ini naik jika
dibandingkan tahun sebelumnya.
Menag
juga berharap agar calon jemaah yang sudah pernah berhaji dapat
memberi kesempatan kepada saudara sesama muslim lainnya yang belum
pernah berhaji. “Semua ini tujuannya adalah untuk meningkatkan
kualitas pelayanan ibadah haji dan kemaslahatan bersama,” kata
Menag.
Akhirnya,
Mudzakarah Perhajian Nasional 2015 yang berlangsung 25-27 Februari di
Asrama Haji Pondok Gede Jakarta mengeluarkan dua butir rekomendasi
terkait istitha’ah (kemampuan) kesehatan jemaah haji.
Kedua
rekomendasi ini berdasarkan pada tujuh poin pertimbangan rumusan
istitha’ah kesehatan pada rapat pleno peserta mudzakarah yang
dipimpin Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Abdul Djamil.
Rekomendasi
pertama, meminta pemerintah untuk segera membuat regulasi setingkat
surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri. “Pemerintah agar
membuat regulasi bersama dalam bentuk keputusan bersama tiga menteri
(Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Perhubungan) terkait
batasan jamaah haji Indonesia yang memenuhi istitha’ah kesehatan,”
demikian bunyi rekomendasi pertama.
Rekomendasi
kedua menyatakan agar pemerintah sosialisasikan istitha’ah
kesehatan haji kepada masyarakat. “Ini agar tidak terjadi pemahaman
yang keliru,” demikian Dirjen Abdul Djamil sebelum menutup
mudzakarah yang dihadiri Direktur Pembinaan Haji Muhajirin Yanis.
Rekomendasi
yang sebelumnya dibahas pada rapat komisi ditandatangani oleh Kepala
Balitbang Kemenag, Abdul Rahman Mas’ud; Kepala Pusat Kesehatan Haji
Kemenkes Fidiansjah; Kasubdit Kesehatan Kemenkes Etik Retno Wiyati;
dan pengurus PBNU Mahbub Ma’afi: peneliti pada Puslitbang
Pendidikan Agama Kemenag Husen Hasan Basri; serta peserta yang lain.
Mudzakarah
ini juga membuat rumusan tentang hukum melakukan haji berkali-kali.
Disebutkan, kewajiban haji itu hanya sekali seumur hidup. Jika
seseorang berhaji kembali (berulang-ulang) hukumnya tathawwu
(sunnah). Sunnah yaitu perbuatan yang jika dilaksanakan akan
memperoleh nilai keutamaan, akan tetapi jika tidak dikerjakan tidak
berdosa.
Bahkan,
lanjut Djamil, Rasulullah Saw yang punya kesempatan berkali-kali,
hanya melaksanakan ibadah haji satu kali yaitu pada tahun 10
hijriyah, yang dikenal dengan haji wada. Jika diwajibkan setiap tahun
pasti akan memperberat umat Islam sehingga tidak mungkin mampu
melaksanakan.
Djamil
menambahkan, melakukan haji berulang di tengah kondisi keterbatasan
kuota haji, bisa membawa dampak negatif. Antara lain, mengurangi,
bahkan menghilangkan kesempatan orang yang berkewajiban menunaikan
ibadah haji, karena jatahnya diambil jemaah yang sunnah.
(MH)