Fatwa: Agama Dorong Pembuktian Terbalik Korupsi
Prihatin dengan merebaknya korupsi di negeri ini, MUI akhirnya mengeluarkan fatwa yang membolehkan pembuktian terbalik dalam kasus ko...

http://www.keretawaktu.com/2015/01/fatwa-agama-dorong-pembuktian-terbalik.html

Konon, katanya, negara kita ini adalah negara terkorup.
Tapi, uniknya tak ada koruptornya. Koruptor yang ditangkap hanyalah kelas teri
yang tidak menggambarkan citra buruk itu. Kenapa? Karena hukum dan berbagai
aturan masih dianggap melindungi mereka. Mereka, seolah melakukan korupsi
karena dibenarkan oleh sistem.
Memang, salah satu cara untuk bisa menjerat koruptor adalah
dengan pembuktian terbalik. Jika seorang pejabat dengan gaji plus tunjangan
mencapai Rp 10 juta, namun kemudian ia
bisa memiliki mobil Alphard, rumah mewah, vila di mana-mana, pantas kita
lakukan pembuktian terbalik. Tidak ada data bahwa ia melakuakn korupsi. Tapi,
harus bisa dibuktikan bagaimana ia bisa memperoleh kemewahan itu.
Sejak 13 Oktober 2003 kita telah memberlakukan UU No 25 tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang merupakan revisi atas UU No 15
Tahun 2002. Sebelumnya telah muncul UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta disusul kemudian UU
nomor 25 tahun 2003 tentang Gratifikasi.
Produk hukum tentang pembuktian terbalik untuk kasus
pencucian uang itu muncul setelah ada desakan internasional terhadap Indonesia
antara lain dari Financial Action Task Force (FATF), badan internasional di
luar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang anggotanya terdiri dari negara donor
dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan pencucian uang.
Sejak tahun 2001 Indonesia bersama 17 negara seperti Mesir,
Guatemala, Myanmar, Nauru, Nigeria, Filipina dan Ukraina diancam sanksi
internasional karena dianggap tidak kooperatif dalam pemberantasan pencucian
uang. Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi pencucian uang. Pertama,
karena kita menganut sistem devisa
bebas. Kedua, rahasia bank yang ketat. Kempat, korupsi merajalela. Kelima, maraknya kejahatan narkotika, dan
keenam, perekonomian Indonesia dalam keadaan kacau sehingga ada kecenderungan
menerima dana dari mana saja.
Akibatnya,
Indonesia masuk pada daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCT),
sesuai dengan rekomendasi FATF yang setiap transaksi dengan perorangan maupun
badan hukum yang berasal dari negara NCCT harus dilakukan dengan hati-hati.
Inilah yang kemudian memaksa kita membuat UU tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, mendirikan Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK),
mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama internasional,
yang akhirnya pada Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT dan
bahkan pada Juli 2006 Indonesia terpilih sebagai ketua bersama (co-chairs)
dengan Australia untuk memimpin FATF hingga tahun 2008.
Pembuktian
Terbalik
Berkembangnya
pemahaman bahwa mencegah para pelaku tindak pidana, mengubah dana hasil tindak
pidana dari haram menjadi halal dan menyita hasil tindak pidana tersebut
merupakan cara yang efektif untuk memerangi tindak pidana itu sendiri. Dalam
pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa. Dalam tindak pidana
pencucian uang, misalnya, yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan
yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi,
kejahatan narkotikan serta perbuatan haram lainnya.
Pembuktian
terbalik bukan untuk membuktikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa,
melainkan tujuannya adalah untuk menyita harta kekayaan yang berasal dari
tindak pidana. Jadi bukan untuk menghukum pelaku tindak pidana. Dalam Pasal 35
UU No 25 Tahun 2003 diatur tentang pembuktian terbalik dengan rumusan: ”Untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Dalam ketentuan ini
memang tidak jelas pembuktian ini apakah dalam konteks pidana untuk menghukum
orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan.
Hukum acara yang
mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya
menimbulkan kesulitan. Jika pembuktian terbalik dilakukan untuk menghukum
terdakwa, ini jelas bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di Indonesia
yaitu asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence) dan non-self
incrimination. Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum di
Indonesia, yang sekarang diatur dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Asas ini intinya
menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka
melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-self
incrimination ditemui dalam praktik dan peraturan tertulis di Indonesia seperti
dalam UU Hak Asasi Manusia. Asas
non-self incrimination adalah seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas
dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai
konsekuensinya, tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan.
Dalam penilaian
Mulyanto, SH, MH, hakim pada PN Semarang, Jawa Tengah, pembuktian terbalik ini
merupakan masalah baru sehingga yang diperlukan bukan saja UU baru, akan tetapi
juga mindset pemikiran yang juga baru.
Dalam kaitan
korupsi, pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 12B dan Pasal 37, serta
Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam Pasal 37 a
disebutkan: “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istyri atgau suami, anak, dan harta benad setiap
oirang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungand engan perkara yang
didakwakan.”
Dalam pasal12 B
ayat (1) berbunyi: "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”
Dukungan Fatwa
MUI
MUI memandang
korupsi sebagai bahaya yang sangat besar yang memerlukan dukungan untuk
pemberantasannya. “Umat Islam harus memberi kontribusi positif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, khususnya dalam mempercepat penanganan masalah korupsi,
termasuk dengan melakukan kajian terkait dengan penerapan asas pembuktian
terbalik dalam tindak kejahatan tertentu dalam perspkektif agama.”
Maka, dalam
keputusan nonor 01 pada Munas MUI tahun 2010 tertanggal 13 Syakban 1431
Hijriyah atau bertepatan dengan 27 Juli 2010 diputuskan bahwa pada dasarnya
seseorang tidak bisa dinyataan bersalah sampai adanya pengakuan (iqrar) atau
bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut bersalah, sejalan
dengan asas praduga tak bersalah. Kewajiban pembuktian dibebankan kepada
penyidik dan penuntut sedang sumpah bagi orang yang mengingkarinya.
“Pada kasus hukum
tertentu, seperti kasus pengelapan, korupsi dan penucician uang (money laundring)
dibolehkan penerapan asas pembuktian terbalik jika ditemukan indikasi (amarat
al-hukm) tindak pidana, sehingga pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan
tersebut dibebankan kepada terdakwa.” Demikian bunyi putusan Komisi C (Fatwa) yang
dipimpin Prof.Dr. Huzaimah T. Yanggo dalam Munas MUI itu.
Dasar hukum MUI
adalah ayat Al-Quran surah Annisa ayat 135. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Dalam surah Yusuf
pada 23-29 disebutkan juga:
“Sesungguhnya wanita itu telah
bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan
kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Dan keduanya berlomba menuju pintu
dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya
mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: "Apakah
pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain
dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?"
Yusuf berkata: "Dia menggodaku
untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan seorang saksi dari keluarga
wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di muka, maka
wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.
Dan jika baju gamisnya koyak di
belakang, maka wanita Itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang
benar."
Maka tatkala suami wanita itu
melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya
(kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu
adalah besar."
(Hai) Yusuf: "Berpalinglah dari
ini, dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya
termasuk orang-orang yang berbuat salah."
Dalam hadis Muttafaq ‘alayh dari
Ibnu Abbas disebutakn bahwa Rasulullah bersabda: “Seandainya dakwaan (tuntutan)
menusia dimenangkan, niscaya banyak orang menuntut darah dan harta orang lain. Akan
tetapi sumpah dibebankan kepada terdakwa.”
Dalam hadis sahih lain dari Ibnu
Abbas riwayat Baihaqi, Turmudzi dan Ibnu Majah Rasulullah SAW bersabda: “Alat
bukti dibebankan kepada pendakwa (penuntut) dan sumpah dibebankan kepada
terdakwa (tertuduh).”
Rasulullah pernah berkhutbah dalam
hadis riwayat Bukhari sebagai berikut: “Bagaimana perilaku seorang pegawai yang
kami angkat lalu dia datang kepadaku kemudian dia mengucapkan: Ini dari pekerjaanmu
dari ini dihadiahkan kepadaku. Tidakkah dia duduk saja di rumah ayah ibunya
lalu dia tunggu apakah dia diberi hadiah atau tidak? Demi jiwa Muhammad yang
ada dalam genggaman-Nya, tidaklah seseorang melakukan korupsi (ghull) kecuali
pasti dia akan datang pada hari kiamat sambil mengalungi barang yang ia korupsi
di lehernya. Jika yang dikorupsi
itu unta maka ia akan membawa suara unta. Dan jika yang dikorupsi sapi betina
maka ia kan membawa suara lenguhnya. Maka jika yang ia korupsi itu kambing maka
pada hari kiamat ia akan membawa suara embikannya. Sungguh aku telah
menyampaikannya.”
Musthafa Helmy