Ziarah: Ada Wali Tujuh di Bali

Beberapa bus berderet di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Penumpangnya, bukan sekedar wisatawan. Sebab, hampir semua mengenakan busana muslim...

Beberapa bus berderet di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Penumpangnya, bukan sekedar wisatawan. Sebab, hampir semua mengenakan busana muslim. Laki-lakinya sebagian besar bersarung, baju koko dan berpeci. Wanitanya semuanya mengenakan kerudung.



Dari nomor bus memandakan ada yang dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, dan lain sebagainya. Bahkan, pernah wisatawan muslim Australia berdarah Afrika Selatan sengaja datang ke Bali hanya untuk berziarah. Mereka datang dengan mengenakan busana muslim.
Mereka datang ke Bali untuk menikmati pantai dan cuci mata. Tapi, kedatangan peziarah muslim itu tak lain untuk berziarah ke wali tujuh atau Wali Pitu yang dikenal sebagai pejuang dan penyebar Islam di Pulau Dewata.
Benarkah ada tujuh wali di Bali. Kenyataannya memang ada dan bahkan dijaga oleh juru kunci yang karyawan Pemda dan beragama Hindu. Tujuh wali itu bukan ‘diciptakan’ untuk dijual kepada wisatawan, tapi, memang ada dan bahkan sebagian besar berdarah habib atau keturunan Rasulullah. Ada juga keluarga kerajaan Bali.  
Mereka adalah Raden Mas Sepuh atau Pangeran Amangkuningrat (Keramat Pantai Seseh), Raden Ayu Siti Khotijah, Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi (Keramat Bukit Bedugul), Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Hamid di (Keramat Pantai Kusamba), Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus (Keramat Karangasem), Syeich Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi (Keramat Karangasem), dan Syeich Abdul Qodir Muhammad (Keramat Karangrupit).Namun kemudian juga dimasukkan makam Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana yang wafat tahun 1997 sehingga menjadi Wali Wolu atau wali delapan.
Proses ditemukannya beberapa makam keramat ini berawal dengan ditemukan makam di Pantai Seseh yang ditemukan Jemaah Manaqib yang ada di Bali  pada bulan Muharram 1413 H atau 1992 M. Kemudian diikuti temuan makam-makam keramat lainnya yang memang sudah ada sejak dahulu kala.

Pangeran Bali
Raden Mas Sepuh yang bernama kecil Pangeran Amangkuningrat adalah putra Raja Mengwi I. Sejak kecil ia diasuh oleh ibundanya yang seorang muslimah asal Blambangan (Banyuwangi), Jawa Timur. Makam ini terletak di Pantai Seseh, Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung yang berdampingan dengan Pura Agung di Tanah Lot. Jarak antara Pantai Seseh dan Jalan Raya Tabanan, Denpasar, sekitar 15 km. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya juga dihormati oleh umat Hindu. Juru kuncinya bahkan seorang pemuka Hindu.
Raden Ayu Siti Khotijah makamnya terletak di pusat kota Denoasar, terletak di Jalan Batu Karu, Pamecutan, Denpasar. Ia bernama asli Ratu Ayu Anak Agung Rai, adik Raja Cokorda III dari Kerajaan Pamecutan, yang dipersunting oleh Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati Kerajaan Mataram yang muslim.
Suatu malam sewaktu Siti Khotijah mengerjakan shalat tahajjud di kamar yang pintunya terbuka, secara tidak sengaja terlihat oleh pengawal yang tengah berjaga dan terdengar suara takbir “Allahu Akbar”, yang didengarnya sebagai “makeber” yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Pengawal yang melihat Siti Khotijah yang mengenakan mukena putih mengiranya leak lantas menghujamkan tombak ke punggung Siti Khotijah yang saat itu dalam posisi sujud. Khotijah tewas di tempat.
Jenazah Dewi Khodijah yang tertelungkup dengan tombak terhunjam di punggungnya sulit diangkat dan dibujurkan. Jenazahnya tetap sujud tidak berubah. Baginda mencari bantuan umat Islam untuk merawat jenazah adiknya. Meskipun pelaksanaan memandikan dan mensalati berjalan lancer, namun satu hal yang tak dapat diatasi yaitu batang tombak yang menghujam di punggungnya tidak dapat dicabut. Maka, atas keputusan semua pihak, jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang tombak yang terbuat dari kayu itu bersemi dan hidup sampai sekarang.
Dewi Khotijah (Ratu Ayu Anak Agung Rai) adalah hadiah sang raja karena jasa membantu Raja Pemecutan dalam peperangan yang dimenangkan. Makam Pangeran Sosrodiningrat sendiri berada di Loloan, Kabupaten Jembrana.
Wewenang pemeliharaan makam Khotijah dan Pangeran Sosrodiningrat diberikan kepada K.H.M. Ishaq, sesepuh atau tetua Kampung Islam Kepaon, yang juga menjadi tetua umat Islam Kepaon.
Makam Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al Hamid berada di tepi pantai di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, tidak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Semasa hidupnya, Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang Prabu menghadiahkan seekor kuda sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju puri Klungkung.
Pada suatu hari, sewaktu Habib Ali pulang dari Klungkung, ia diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dengan senjata tajam dan gugur di tempat. Akhirnya, jenazah beliau dimakamkan di ujung barat pekuburan Desa Kusamba.
Makam Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi selalu ramai setiap Rabu terakhir bulan Safar. Masyarakat setempat berbondong-bondong naik ke bukit berziarah di makam Habib Umar bin Yusuf Al Maghribi ini untuk memperingati wafatnya (haul) dengan mengadakan doa bersama dan kenduri selamatan.
Makam ini terletak di bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali, yang hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam, yaitu makam Habib Umar dan pengikutnya yang luasnya 4×4 meter. Makam ini sebenarnya sudah lama ada, namun menurut keterangan dari beberapa tokoh masyarakat setempat baru saja ditemukan sekitar 40—50 tahun berselang oleh seorang yang mencari kayu bakar di bukit Bedugul. Untuk mencapai makam tersebut, peziarah harus berjalan kaki mendaki kurang lebih 4 jam.
Makam Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus atau acap disebut Keramat Kembar Karangasem terletak di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Makam keramat tersebut berada tidak jauh dari Jalan Raya Subangan arah ke utara, jalan tembus menuju ke Singaraja dari Desa Temukus. Dari Singaraja berjarak sekitar 7 kilometer.
Di dalam satu cungkup makam kembar tersebut terdapat makam tua berjajar dengan makam Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus. Menurut masyarakat setempat, makam kuno inilah yang dikeramatkan sejak zaman dahulu. Makam ini diperkirakan berusia 350—400 tahun. Adapun mengenai nama, sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun yang tahu, bahkan juru kuncinya pun tidak tahu. Sebagian kalangan menyebutkan bahwa makam ini adalah makam dari Syaikh Maulana Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi serta makam Tengku Abdurrahman.
Habib Ali Zainal Abidin al-Idrus (wafat pada 9 Ramadhan 1404 H atau 19 Juni 1983) dan dia dikenal sebagai ulama besar yang arif bijaksana, dan banyak santri yang mengaji kepadanya yang berasal dari Bali, Lombok dan sekitarnya. Semasa hidupnya, beliau menjadi juru kunci makam kuno itu dan kemudian dimakamkan di samping makan kuno tersebut.

Wali Tionghoa
Makam Syeikh Abdul Qodir Muhammad atau The Kwan Lie teletak di Karang Rupit terletak di Desa Temukus (Labuan Aji), Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Makam tersebut berada di tepi Jalan Raya Seririt. Berjarak ± 15 km dari Singaraja.
Syeikh Abdul Qadir Muhammad atau The Kwan Lie atau juga dikenal dengan nama The Kwan Pao-Lie adalah seorang Tionghoa. Penduduk setempat menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rabu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing menggelar upacara menurut keyakinan masing-masing.
Dari dataran Tiongkok/Cina mengembara ke Singapura di Bukit Temasek (sekarang menjadi Stadion Nasional Singapura) bertemu dengan Zaenal Abidin dan Habib Husin. Selang beberapa waktu mengembara ke Palembang setelah bermukim beberapa tahun ia kemudian mengembara ke Jawa menuntut ilmu di Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Diperkirakan sudah cukup mendalami ilmunya, The Kwan Lie diantar Sunan Gunung Jati ke Pulau Bali untuk menyebarkan agama Islam, walaupun banyak cobaan dari segala penjuru namun dengan ikhlas dan sabar, Allah SWT memberikan yang terbaik dan mendapat gelar Syeikh Abdul Qodir Muhammad.
Selanjutnya, Habib Ali Bafaqih lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, datang ke Bali pada tahun 1917 dan sebelumnya belajar agama di Mekkah. Pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang telah meluluskan ribuan ulama dan dai. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di tanah air. Faktor inilah yang diduga menjadi sebab ramainya para paziarah. Habib Ali wafat pada 1997 dalam usia 107 tahun. Selain menguasai ilmu Al-Quran, Habib Ali juga dikenal sebagai pendekar silat yang tangguh.
Makamnya terletak di Kompleks Pondok Pesantren Syamsul Huda: Jalan Nangka No. 145, Loloan Barat, Negara, Jembrana.
Seiring dngan tumbuhnya wisatawan muslim ini maka kini juga subur restoran muslim di daerah Bali dan juga hotel yang bernuansa syariah. (MH)

Baca Juga:

Agama Islam 5901918436968975146

Posting Komentar

emo-but-icon

Video Berita Haji

Populer

Terbaru

Iklan

item