Tarikh: Ulama di Belakang Berdirinya NU

KH Ahmad Siddiq putera bungsu Kiai Siddiq Jember Ahad, 23 Syakban 1438 bertepatan dengan 21 Mei 2017 diselenggarakan haul ke 85 KH Muha...

KH Ahmad Siddiq putera bungsu Kiai Siddiq Jember
Ahad, 23 Syakban 1438 bertepatan dengan 21 Mei 2017 diselenggarakan haul ke 85 KH Muhammad Shiddiq di Jember. Kiai Shiddiq sebenarnya wafat pada hari Ahad, 2 Ramadan 1353 H atau 9 Desember 1934 M. dalam usia 80 tahun. Haul diajukan menjadi setiap Ahad akhir Syakban untuk alasan praktis.


Seperti biasa, haul dihadiri ribuan jemaah. Kiai Shidiq tergolong ulama penyebar ilmu pengetahuan Islam di Jember dan sekitarnya. Menurut KH Hadi Ahmad, cucu Kiai Shiddiq, ribuan kiai yang memiliki sanad keilmuan dengan Kiai Shiddiq. Menurut Kiai Hadi dalam sambutan haul itu, ada sekitar 3.000 masjid binaan santri-santri Kiai Shiddiq, sekitar 750 pesantren dan sejumlah lebih 1.000 lembaga pendidikan Islam di kabupaten Jember.
Hadir cucu-cucu Kiai Shiddiq yang masih ada, Kiai Umar Ahmad Pasuruan, Kiai Saiful Bari Mahfuz Jember, Kiai Firjon Ahmad Jember, dan cucu cicit almarhum yang jika dijumlah sudah mencapai ratusan jiwa dari dari 10 putera-puteri Kiai Shiddiq. Hingga kini makamnya di Condro, jalan Gajahmada, kota Jember menjadi tujuan wisata ziarah kota itu. Peziarah datang dari mana-mana, khususnya setiap Kamis malam. Bus-bus berderet dipakir di jalan depan makam.
Kiai Shiddiq lahir di Lasem, Jawa Tengah. Ia tercatat pernah mengaji di Pondok Pesantren Langitan, Sidoarjo, dan Bangkalan dengan Kiai Cholil. Setelah pengembaraan di sejumlah pesantren, Kiai Shiddiq membangun pesantren di Lasem dan kemudian hijrah ke Jember dan mendirikan pesantren juga di sini pada tahun 1884, saat Kiai Shiddiq masih muda, 30 tahun.
Pesantren pertama didirikan di kampung Gebang, Jember. Pada tahun 1918, dalam usia 64 tahun, pindah kekampung Talangsari Jember yang tanahnya lebih luas dan mendirikan pesantren yang kemudian sekarang dikenal sebagai Pesantren Ash-Shiddiqi di Jalan KH Shiddiq 201 Jember. Kini diasuh KH Firjon bin Achmad Shiddiq. Pesantren di Gebang kemudian dilanjutkan oleh keluarga KH Machmud Shiddiq.
Pesantren inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berkembangnya Islam di Jember melalui pengkaderan santri dan mendirikan masjid-masjid sebanyak 15 masjid yang tersebar diberbagai wilayah Jember, termasuk Masjid Jamik Al-Baitul Amin dijantung kota Jember. Terbukti, para santrinya tersebut yang kemudian menjadi ulama yang menyebarluaskan pengajaran Islam di pelosok Jember melalui masjid-masjid yang telah dirintisnya.
Kiai Shiddiq lahir dukuh Punjulsari, sebuah hutan di desa Waru Gunung, kecamatan Lasem, kabupaten Rembang pada tahun 1453 H atau 1854 M. Dan garis ayah dan ibu, Kiai Shiddiq masih keturunan Sayid Abdurrahman Mbah Sambu Lasem yang cucu Rasulullah.
KH Muhammad Shiddiq adalah sosok ulama yang ikhlas dan berilmu. Keteladanannya patut menjadi contoh bagi umat Islam. Dengan keikhlasan yang tinggi, Mbah Shiddiq benar-benar muncul sebagai ulama yang patut dikenang sepanjang zaman. Hal tersebut dikemukakan Habib Taufiq Assegaf dari Pasuruan saat memberikan taushiyah dalam salah satu haul Kiai Shiddiq.
Menurutnya, Kiai Shiddiq yang menjadi sesepuh sejumlah tokoh nasional itu, merupakan tipe ulama langka jika dibandingkan dengan zaman sekarang. “Sekarang sulit mencari ulama seperti beliau,” tukasnya.
Habib Taufiq menambahkan, dari sisi kuantitas, sekarang banyak ulama yang cukup menonjol. Tapi dari segi kualitas justru ulama berkurang. Kualitas yang dimaksud adalah ilmu dan keikhlasannya. Sebagai pewaris Nabi, katanya, seharusnya ulama banar-benar mewarisi perilaku Nabi. “Tapi yang ada sekarang, ulama malah banyak kategorinya. Tapi yang berkategori sama dengan Kiai Shiddiq, sedikit,” tukasnya.

Ulama Istiqamah
Kiai Shiddiq memang kemudian melahirkan banyak ulama, di antaranya anak-anak sendiri. KH. Mansur, anak tertua yang kemudian melahirkan Kiai Ali Manshur dikenal penggubah selawat Badar. Nyai Raihanah yang disunting Kiai Abdullah Umar Lasem melahirkan KH Hamid Pasuruan. Kemudian KH. Achmad Qusyairi dikenal banyak menulis kitab bahasa Arab di antaranya Tanwirul Hija yang disyarah ulama besar Arab Saudi Saikh Ali Al-Maliki. KH Machmud tercatat sebagai mertua KH Bisri Sansuri. KH. Mahfudz Shiddiq adalah Ketua PBNU dan pengelola media NU. K.H. Abdul Halim pengasuh pesantren yang dikhususkan kaum puteri. KH Abdullah Siddiq sebagai tokoh pergerakan NU dan PPP. KH Ahmad Shiddiq Rais Am PBNU 1984-1990. Dua puteri Kiai Shiddiq lainnya disunting KH. Muhammad bin Hasyim (ibunda KHM Yusuf Muhammad) dan KH. Dhofir bin Salam Kajen.
Keberhasilan membina anak-anak tersebut tentu dipengaruhi pola kehidupan sehari-hari. Kunci keberhasilan mendidik anak-anak itu terletak pada kata istiqamah, tekun, telaten, ajeg, terus-menerus mengamalkan pendekatan diri kepada Allah.
Setiap malam Kiai Shiddiq bangun pukul 03.00 untuk salat Tahajud. Ia selalu memimpin salat-salat fardlu hingga akhir hayatnya. Kiai Shiddiq hafal Al-Quran sejak kecil. Karena itu ia selalu memesankan anak cucunya untuk menggeluti Al-Quran. Kiai Shiddiq memerintahkan Kiai Halim (putranya) menulis kaligrafi di dinding musalla. “Sebaik-baik perbuatan umatku adalah membaca Al-Quran dengan menyimak.” Di dinding kanan tertulis pesan yang dikutip kitab Jauharul Tauhid: “Semua kebaikan itu terdapat pada keteladanan orang-orang terdahulu. Dan semua keburukan itu ada pada rekayasa orang kemudian.” Di dinding kiri atas terdapat tulisan yang dikutip dari kitab Atqiya: “Jangan sekqali-kali meninggalkan salat berjamaah yang keutamaan berlipat 27 kali.”
Kiai Shiddiq memiliki waktu-waktu tertentu untuk uzlah. Kiai Shiddiq melakukan salat Duha dan salat-salat sunnah lainnya yang hingga mencapai 100 rekaat lebih, mengaji Al-Quran dengan menghatamkan sepekan sekali serta membaca kitab selawat Dalailul Khairat himpunan Imam Al-Jazuli.
Kiai Shiddiq mengajar ilmu dasar hingga tingkat atas. Ia mengajar karanganya sendiri Fashalatan tentang salat kepada santrinya. kemudian Aqidatul Awam dan Safinatun Najah, Ajurumiah, dan lainnya. Aqidatul Awam menjadi bacaan yang wajib dihafal santri.

Mendalam
Selanjutnya, kelas menengah akan mempelajari Imriti, Sullam Taufiq, Fathul Qarib, Nashaihud Diniyah dan Bidayatul Hidayah. Kelas tinggi akan mempelajari lhya’ Ulumuddin, Tafsir Jalalain, Shahih Bukhari, dan beberapa kitab lainnya termasuk terjemahan Alfiah Ibnu Malik dalam bahasa Madura yang ditulisnya ketika nyantri di Bangkalan.
Setiap Kamis malam (malam Jumat) bakda maghrib Kiai Shiddiq memimpin pembacaan Maulid Al-Barzanji. Dan pada Ahad malam (malam Senin) bakda Maghrib dibaca kitab maulid Ad-Dibai. Semula terbalik, Kamis malam dibaca Ad-Dibai dan Ahad malam Barzanji. Tiba-tiba Kiai Shiddiq melihat kehadiran Rasulullah berdiri di pintu. Spontan, Kiai Shiddiq mengubah bacaannya dengan Ad-Dibai. Sejak itu, pembacaan Ad-Dibai dilakukan setiap Ahad malam. Acara dilanjutkan baca Ratibul Haddad.
Disamping padatnya mengajar dan khalwat itu, Kiai Shiddiq juga tetap berdagang untuk mencari nafkah. Jika ia sudah dapatkan keuntungan yang bisa dianggap cukup untuk menghidupi keluarga, ia pulang dan tutup dagangannya. Ia berdagang kain sarung, songkok, dan peralatan salat lainnya. Ia juga menjadi pedagang keliling antar pasar di desa-desa Jember.
Suatu kali Kiai Shiddiq hendak berdagang ke Arjasa, ia ketinggalan kereta dan harus menunggu kereta berikutnya. Dalam masa tunggu itu ia bertemu seorang penghulu yang rumahnya di depan stasiun. Penghulu itu mengajaknya singgah. Menjelang kereta datang, penghulu itu memberi uang Rp 1. “Sampean sedekah Rp 1 kepada saya maka saya tidak jadi ke Arjasa. Saya ke Arjasa hanya untuk mencari untung Rp 1,” kata Kiai Shiddiq. Uang itu dihabiskan untuk belanja dapur.
Sampai di rumah ia tertidur dan bermimpi bertamu ke rumah penghulu tadi. Di sana ia disuguhi hidangan babi. Kiai Shiddiq bangun dan cepat memerintahkan santri untuk membuang semua hasil belanja tadi. Nampaknya, Kiai Shiddiq terus dijaga oleh Allah SWT dari makanan yang tercela.
Kiai Shiddiq sudah dikenal sebagai waliyullah. Menurut beberapa ulama, Kiai Shiddiq bertemu langsung dengan Rasulullah sebanyak empat kali. Sementara perjumpaan dalam mimpi tak terhitung seringnya.

Kelahiran NU
Menjelang kelahiran NU digambarkan betapa sibuknya para ulama melakukan komunikasi, di antaranya dengan Kiai Cholil Bangkalan. Kiai Cholil memberi dukungan khusus kepada KH Hasyim Asy'ari melalui Kiai As'ad Syamsul Arifin. Namun, ulama besar Bangkalan yang lahir tahun 1820 itu wafat tahun 1925.
Dengan wafatnya Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy'ari yang lahir 1875 memerintahkan KH Wahab Hasbullah yang waktu itu masih berusia 37 tahun untuk bertemu dua ulama yang dikenal wali. Kiai Shiddiq di Jember dan Kiai Yasin di Pasuruan. Kiai Wahab didampingi pemuda Masjkur yang masih berusia 23 tahun. Kiai Hasyim ingin dukungan dua ulama sepuh itu yang juga seniornya di pesantren Kiai Cholil Bangkalan.
Seperti biasa, Kiai Shiddiq selalu melakukan istikharah sebelum mengambil keputusan. Kiai Wahab dan Kiai Masjkur dipersilahkan menginap semalam di rumahnya. Usai sarapan keesokan harinya, Kiai Shiddiq yang telah berusia 70 tahun lebih itu menyatakan dukungannya. Tapi, karena usia tak memungkinkan, maka ia menunjuk putera kelimanya, Mahfudz untuk ikut aktif di NU.
Begitu juga dengan Kiai Yasin bin Rais Pasuruan yang juga ikut merestui berdirinya NU seperti yang dilakukan Kiai Shiddiq (besannya) namun tak bisa ikut aktif. Kiai Yasin menitipkan menantunya yang masih muda belia, KH Abdullah Ubaid yang kemudian dikenal sebagai pendiri Gerakan Pemuda Ansor.
Kiai Shiddiq masih sempat menyaksikan kiprah NU dan juga kiprah puteranya. Kiai Mahfudz Siddiq (1906-1944 M) tercatat sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah (1937-1942), penulis beberapa buku serta pimpinan penerbitan NU. Sayang, Kiai Shiddiq yang wafat tahun 1934 tak menyaksikan kehebatan anaknya ketika memimpin NU dengan cetusan pemikiran 'Mabadi khayru Ummah'.
Kiai Shiddiq wafat, Jember berduka. Kiai Hasyim Asy'ari sempat bertakziah ke Jember. (*/MH) 

Baca Juga:

Nasional 3622907343550961204

Posting Komentar

emo-but-icon

Video Berita Haji

Populer

Terbaru

Iklan

item