Ihwal Ulama Palembang di Kubur Pattani
Makam Syaikh Al-Falimbani di Pattani, Thailand Pada sebuah toko buku di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat, kitab Hidayatus Salikin karya ...

http://www.keretawaktu.com/2016/07/ihwal-ulama-palembang-di-kubur-pattani.html
Makam Syaikh Al-Falimbani di Pattani, Thailand |
Lakukah kitab ini? Tentu. “Kalau tidak
laku tidak mungkin kami jual,” jawab penjualnya enteng sambil menghitung
melalui kalkulator dan melayani sejumlah pedagang kitab.
Hari itu sejumlah orang memang menunggu
membelinya. Yang mencengangkan, harga buku hanya Rp 10.000, setelah dipotong
rabat 30%. Padahal tebal buku 352 halaman, meski dicetak di atas kertas koran.
Mengapa buku ini masih laku di pasaran?
Karya ulama kuno yang ditulis dengan aksara Arab Melayu atau Arab Pegon memang
masih punya pasar. Menyertai Hidayatus Salikin, menjadi best seller Majmu'
Syarif (konon penulisnya Sayid Abdurrahman bin Yahya kakek Sayid Usman bin Yahya,
Mufti Betawi terkenal abad 18). Karya lain semacam Sayrus Salikin karya Syaikh
Samad dan Sabilal Muhtadin karya Syaikh Arsyad Banjar, tercatat masih dicetak
dan masih ada pembelinya.
Sedikit mencengangkan. Sebab, ini
wilayah Jakarta, bukan Palembang. Jika kitab ini laku di kota Musi itu bisa
difahami. Karena pengarangnya ulama asal Palembang dan menjadi penutan
keagamaan di negeri Palembang kala itu, sehingga masih memiliki keterikatan
emosional.
Syaikh Abdus Samad Al-Falimbani
diperkirakan lahir pada tahun 1116 H/1704 M, di Palembang. Kitab Hidayah
al-Salikin ditulisnya pada tahun 1192 H/1778 M. Banyak orang menyebut
karya ini sebagai tejemahan dari Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali (wafat
tahun 1111 M). Namun, tak sepenuhnya benar. Karena Syaikh Samad juga memperkaya
dengan kitab Al-Ghazali dan karya ulama lainnya.
Pada bagian terakhir Syaikh Samad
mengutip sejumlah pendapat ulama mutakhir tentang Al-Ghazali yag memperkuat
pendapatnya. Misalnya, pendapat Sayid Abdullah Al Aidrus yang mengtakan: “Dalan
lazimkan olehmu hai orang yang menuntut khalwat (yakni orangyang menuntut khalwat
tempat berbuat ibadah yang sunyi hanya mereka itu dari pada dunia) dengan
taqlid akan Imam Ghazali pada segala amalmu dan ibadatmu dan pegang olehmu syaikh
Samad. Ia hidup atau mati yang gemar engkau mengiktikadkan akan dia dan kasih
akan dia dan takzim akan dia dan hormat akan dia dan engkau berikan pada
kasihmu akan dia itu kemuliaan dan hartamu.”
Syaikh Samad dalam buku ini menyebutkan
dirinya dengan Al-Faqir Abdusshamad Al-Jawi Al-Falimbani. Ia menyebut dirinya
sebagai tuan dari kaum fakir di Mekah. Ia menyebut bahwa kitab ini adalah terjemahan
dari Bidayatul Hidayah namun dengan beberap tambahan yang terkait dengan
fatwa-fatwa aktual pada zamannya. Ia sengaja menuliskan adalam bahasa Jawi
(Melayu) karena diperuntukkan bagi mereka yang tak mengenal dan belajar bahasa
Arab.
Kitab Buidayatul Hidayah menjadi
pelajaran pertama santri karena menjadi petinjuk kehidupan serta akhlak. Hal
ini pula yang menjadi landasan Syaikh Samad memilih kitab yang memiliki 95
pasal dan sub pasal ini untuk bekal mencetak akhlak murid-muridnya.
Buku ini selesai ditulis di Mekah pada
hgari Selasa, 5 Muharram tahun 1192 Hijrah atau 3 Februari 1778 M. Selesai
ditashih oleh Syaikh Amad bin Muhammad Zain AlFatahani pada 15 Rabiul Akhir
tahun 1244 (yurdlith thalibina) atau Jumat, 24 Okt 1828 M di Mesir.
Pada tahun berkecamuknya perang Diponegoro (1825-1830) itulah buku ini dicetak pertama
kali di Mesir melalui percetakan milik Syaikh Amjad Al-Kashmiri dan dasar
tulisan tangan (khat) Syaikh Hasan At-Tukhi.
Buku ini menikmati awal kejayaan
pencetakan kala itu. Hanya, karena belum memiliki huruf-huruf tertentu yang
dimiliki aksara Arab Melayu membuat Hidayatus Salikin harus ditulis melalui tangan
dulu (khat) yang kemudian dibuat cetak timah (klise). Seperti diketahui ada
beberapa huruf Arab yang dibuat khusus untuk mengisi huruf ny, ng, c, dan g,
dengan menambahkan titik pada huruf tertentu.
Al-Fathani dalam penutup kitab ini
menyatakan bahwa ia perlu memeriksa manuskrip ini karena diperlukan pemahaman pembacanya.
Ada beberapa tulisan yang dikerjakan orang Mesir yang tak difahami orang Jawi
(Nusantara) sehinga perlu pengubahan yang dilakukan Al-Fathani.
Meski demikian, buku yang beredar di Indonesia
sekarang ini adalah kitab yang ditebitkan tahun 1354 atau tahun 1935 M yang
diterbitkan oleh Penerbit Al-Madaniyah, Indonesia (tidak menyebutkan kota
seperti lazimnya serta cetakan ke bertapa).
Dalam beberapa catatan yang ditulis
sejumlah sejarawan menyatakan bahwa Syaikh Samad sendiri adalah keturunan
Yaman. Ayah Syaikh Samad adalah Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin
Syeikh Ahmad Al-Mahdani yang dilantik sebagai Mufti negeri Kedah (Malaysia)
pada awal abad ke-18. Sementara ibu Syaikh Samad adalah Radin Ranti, wanita
Palembang yang menjadi istri kedua Syeikh Abdul Jalil. Istri Syaikh Jalil
pertama adalah Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Syeikh Abdus Shamad mendapat pendidikan
dasar dari ayahnya sendiri di Kedah. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar
semua anaknya ke pondok di negeri Pattani (Thailand Selatan). Zaman itu memang
di Pattani lah tempat menempa ilmu-ilmu keislaman. Shamad menimba ilmu
mengikuti abang-abangnya lain ibu Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir di Pondok
Bendang Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang
semuanya terletak di Pattani. Di antara para gurunya di Patani, yang dapat
diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok.
Sistem pengajian pondok di Patani pada
zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal
dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai dengan
matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafi’i. Di bidang tauhid dimulai dengan
menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut faham Ahlus Sunah wal Jamaah
yang bersumber dari Imam Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur
al-Maturidi.
Ia juga mempelajari ilmu sufi daripada
Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf daripada
Syeikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumatrani, kedua-duanya dari Aceh.
Puas di Patani, ia kemudian melanjtukan
ke Mekah dan Madinah. Ia bertemu dengan ulama-ulama asal Indoensia seperti
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan
lain sebagainya. Ia banyak belajar dari Syaikh Muhammad bin Abdul Karim
Al-Sammani, Syaikh Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, Syaikh Abdul Al-Mun´im
Al-Damanhuri, Syaikh Ibrahim Al-Rais, Syaikh Muhammad Murad, Syaikh Muhammad
Al-Jawhari, Syaikh Athaullah Al-Mashri, dan sejumlah ulama tertkenal lainnya.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia,
pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran
tasawuf. Jiwa berontaknya kepada Belanda menguat dan membawanya kembali ke
Mekah dengan membuat perahu sendiri.
Hidyatus Salikin sendiri merupakan buku
ketiga setelah ia menulis buku Zahratul Murid (1178 H/1764 M), Risalah Pada
Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah (1179 H/1765 M). Hidayatus Saliki juga
mengilhaminya menulis kitab tebal yang diberi nama Sayrus Salikin ila ‘Ibadati
Rabbil ‘Alamin (1194 H/1780 M-1203 H/1788 M) dan lain sebagainya.
Syaikh Samad juga tercatat pernah
mengirim surat kepada Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada
Susuhunan Prabu Jaka atau Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat
tersebut jatuh ke tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M).
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah
lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan/pemberontakan
melawan penjajah. Namun setelah dipertimbangkan, beliau lebih tertarik membantu
umat Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.
Sebelum perang itu terjadi, Sheikh Wan
Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk
surat kepada Sheikh Abdus Shamad di Mekah. Surat itu membawa maksud agar
diumumkan kepada kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu
Pattani dan Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan
(tanah air) mereka.
Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus
Shamad al-Falimbani memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu
lainnya. Sejarawan Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah
1200/1785. Tetapi kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203/1789,tahun
ketika dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling masyhur, Sayr
Al-Salikin yang dalam usia 85 tahun. Kitab dua jilid ini selai ditulis pada 20
Ramadhan 1203 H di Taif, kira-kira bersamaan tahun 1789 M.
Tapi, sejarawan Malaysia Wan Shaghir Abdullah
mencatat: “Dalam Tarikh Salasilah Negeri Kedah diriwayatkan, dia terbunuh dalam
perang melawan Thai pada 1244/1828. Tetapi saya sukar menerima penjelasan ini,
sebab tidak ada bukti dari sumber-sumber lain yang menunjukkan Al-Palimbani
pernah kembali ke Nusantara. Lebih jauh lagi, waktu itu mestinya umurnya telah
124 tahun terlalu tua untuk pergi ke medan perang. Walaupun Al-Baythar tidak
menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal
di Arabia”.
Uniknya, data lain pada manuskrip
Al-Urwatul Wutsqa karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang disalin oleh Haji
Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu, salah seorang murid Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani. Pembuktian bahwa diketemukan kubur Syaikh Abdus Shamad
al-Falimbani di perantaraan Kampung Sekom dengan Cenak termasuk dalam kawasan
Tiba, yaitu Pattani Utara. (MH)
ada info yg asli di palembang, tp banyak yg menginfo di makamkan di pattani thailand. mana yg bener?
BalasHapus